Rabu, 24 Agustus 2016

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA EKONOMI INDONESIA DENGAN HUKUM PIDANA EKONOMI BELANDA (WET OP DE ECONOMISCHE DELICTEN)

Senin, 07 Desember 2015

Pengertian Masalah Sosial (Kajian berdasarkan Teori Struktur Fungsional dan Teori Konflik)


by Wahyu Bram
Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Kepolisian STIK-PTIK, Angkatan V

Apa yang dimaksud dengan masalah sosial? Sepanjang sejarah, sudah banyak ahli yang menerjemahkan masalah sosial dan penyebab timbulnya masalah sosial. Perbedaan paradigma dan pola pikir serta teori yang menjadi landasannya mengakibatkan terjadi perbedaan persepsi dan tentunya menghasilkan perbedaan pengertian.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba merumuskan pengertian masalah sosial berdasarkan teori struktural fungsional dan teori konflik yang diulas oleh Soetomo tahun 1995 dalam buku “Masalah Sosial dan Pembangunan”. Sebelum mengulas dan membahas pengertian masalah sosial menurut kedua teori tersebut, terlebih dahulu penulis akan mengkaji teori struktural fungsional dan teori konflik.

1.       Teori struktural fungsional

Didalam perspektif struktural fungsional, pengertian dan atau pemahaman mengenai masalah sosial dan penyebab terjadinya masalah sosial dari waktu ke waktu berubah seiring dengan adanya proses verifikasi dan fasifilkasi ilmu pengetahuan, walaupun ada perbedaan pemahaman terkait pengertian masalah sosial dan penyebabnya, mereka tetap memiliki pandangan yang sama mengenai fakta sosial (struktur sosial dan pranata sosial).
Para ahli penganut aliran struktural fungsional menilai bahwa struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan idealnya, saling menyatu dalam keseimbangan. Asumsi yang mendasari pemahaman tersebut adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain[1] (fungsi tersebut dapat besifat positif maupun negatif). Dimana menurut penulis, pemahaman atau asumsi tersebut lahir berdasarkan penjabaran dari perilaku sosial itu sendiri, misalnya George Ritzer mempersepsikan bahwa perilaku sosial adalah perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini interaksi antar individu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.[2] Mengingat syarat interaksi tersebut membawa pengaruh kepada suatu individu, maka apabila interaksi tersebut tidak mengakibatkan pengaruh apa pun, tentunya patut dicurigai bahwa interaksi tersebut sebenarnya tidak ada. Itulah sebabnya dalam kalimat selanjutnya Soetomo menyatakan bahwa “kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.”[3]

a.       Perspektif Pathologi Sosial

Para ahli yang menganut teori struktural fungsional ini, pada mula-mula kelahirannya menganalogikan bahwa struktur-struktur sosial yang ada seperti tubuh manusia sebagaimana diutarakan oleh Auguste Comte, yang mana setiap struktur tersebut memiliki fungsi tertentu[4]. Disini penulis menilai bahwa apa yang disampaikan oleh Comte tentang tubuh manusia, merupakan sebuah kondisi ideal atau yang seharusnya, layaknya tubuh manusia dimana setiap fungsi bersinergi satu sama lain dan memiliki keseimbangan dalam mencapai tujuan, yaitu kehendak dari sang manusia atau sang pemilik tubuh.
Dengan dasar analogi struktur sosial seperti tubuh manusia, beberapa ahli mengembangkannya lebih lanjut proses (verifikasi), misalnya seperti Herbert Spencer yang menganalogikan seperti organisme sosial.[5] Menurut penulis, analogi ini pada prinsipnya masih sama dengan analogi tubuh manusia dimana keduanya masih sebagai satu kesatuan organisme, maka seluruh organ atau bagian tubuhnya bergerak dalam suatu keselarasan sesuai kehendak dari organisme tersebut.
Dengan pondasi tersebut maka para ahli mula-mula menyatakan bahwa masalah sosial terjadi apabila individu atau institusi sosial tidak berhasil dalam mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi dan oleh karena itu akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya organisme sosial.[6] Maksud dari tidak berhasil mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan disini, yaitu apabila organ-organ atau bagian-bagian tubuh dari organisme sosial tersebut pergerakannya tidak sesuai dengan keinginan sang organisme sosial, maka disitulah terjadi masalah sosial. Sehingga masalah sosial dianggap sebagai organ atau bagian tubuh yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena terserang penyakit.
Emile Durkheim mencoba memperkuat analogi dari organisme sosial tersebut (proses verifikasi), dimana masyarakat modern sebagai keseluruhan organisme yang memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang keadaan yang bersifat pathologis (Poloma 1987 : 25)[7]. Disini, Durkheim mencoba menegaskan bahwa organ atau bagian tubuh dari organisme tersebut harus berfungsi sesuai keinginan dari si organisme kalau tidak maka sang organisme akan menjadi sakit. Dengan mengacu kepada konsep tersebut, Durkheim secara tidak langsung menyatakan bahwa masalah sosial adalah suatu kondisi yang dapat membuat masyarakat modern menjadi rusak/ sakit, artinya masalah sosial diartikan harus memiliki dampak kepada masyarakat dan dampak tersebut tersebut merupakan dampak yang merusak.
Soetomo kemudian mencoba menjelaskan lebih lanjut mengenai penyebab timbulnya masalah sosial dari pandangan tersebut, yaitu:
“ masalah sosial timbul karena individu gagal dalam proses sosialisasi atau individu karena beberapa cacat yang dimilikinya, dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat” [8].
Lebih lanjut Soetomo menyatakan bahwa pada saat itu persepsi terkait mengatasi permasalahan sosial penekanannya dilakukan terhadap organ-organ atau bagian-bagian tubuh yang sakit atau dengan kata lain kepada individu atau institusi yang menjadi sumber masalahnya[9].
Kemudian Soetomo menjelaskan, bahwa pandangan mengenai struktur sosial sebagai sebuah organisme mengalami falsifikasi, yaitu bahwa sebenarnya masyarakat-lah yang mengakibatkan rusaknya suatu individu, dimana masyarakat yang immoral (immoral societies) akan menghasilkan individu yang immoral (immoral individu) dan keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya masalah sosial. Masalah sosial berkembang dalam usaha mempertahankan social order.[10] Falsifikasi ini lahir dari berbagai penelitian yang bertujuan untuk mengetahui mengapa seseorang melakukan penyimpangan, yang ternyata penyimpangan yang dilakukan orang tersebut diakibatkan oleh lingkungannya. Penulis menilai, pandangan ini walaupun masih berpondasi kepada struktur sosial dan pranata sosial, namun tentunya dalam menilai apa yang menjadi penyebab masalah sosial menjadi bias, karena memposisikan masyarakat sebagai sumber masalah, dalam arti konteks pembahasan dalam hal memprediksi penyebab mengapa sebuah masyarakat menjadi rusak, tentunya akan menjadi sulit karena kompleksitas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Penulis sangat menyayangkan tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai statement “Masalah sosial berkembang dalam usaha mempertahankan social order”, karena penulis yang sejak awal mencoba memahami mengenai analogi tubuh manusia dan organisme berpendapat bahwa analogi tersebut menggunakan analogi suatu individu dimana yang mana setiap individu pasti memiliki keinginan, motivasi dan harapan yang digunakan untuk mendasari setiap aktivitasnya, sehingga menimbulkan pertanyaan dari penulis, apabila individu tersebut bukan individu melainkan masyarakat yaitu sekumpulan besar individu, tentunya akan sulit sekali menentukan apa keinginan, motivasi dan harapan dari masyarakat tersebut, sehingga dengan adanya pernyataan “usaha untuk mempertahankan social order”, tentunya akan menjadi sebuah pondasi yang baik untuk membuat sebuah hipotesis terkait masalah sosial dan penyebabnya, karena tidak semua masalah merupakan masalah sosial. Disini penulis memandang sangat perlu untuk menentukan kapan suatu masalah dianggap sebagai permasalahan sosial dan kapan permasalahan tersebut bukan merupakan permasalahan sosial.
Terkait dengan adanya falsifikasi tersebut, agar tulisannya tidak menjadi kabur, Soetomo mencoba menegaskan kembali bahwa pandangan mengenai pantologis atau penyakit, pada prinsipnya merupakan sebuah pandangan mengenai perbuatan individu yang yang tidak dapat melakukan aturan atau menerima cara-cara yang biasa dilakukan suatu kelompok. Dan Soetomo mengkritisi, pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa:
“ seseorang dikatakan tidak dapat berbuat sesuai yang diharapkan tersebut bersifat relatif tergantung pada waktu dan tempat. Dengan demikian, setiap orang sebetulnya potensial untuk menjadi pathologis dalam dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Orang yang dianggap normal pada kurun waktu tertentu dapat menjadi pathologis pada kurun waktu yang lain, demikian juga orang yang dianggap normal menurut ukuran suatu tempat dianggap pathologis menurut ukuran di tempat lain.”[11]

Terkait pandangan pantologis, Soetomo juga mencoba menyampaikan bahwa ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa masalah sosial berasal dari kegagalan masyarakat dalam menyesuaikan dengan berbagai tuntutan yang selalu berkembang, serta kegagalan dalam melakukan penyesuaian antar bagian dari masyarakat. Dilihat dari kacamata ini, maka masyarakat yang sehat adalah yang mampu mewujudkan social adjusment, sedangkan masyarakat dikatakan sakit apabila terjadi kondisi sebaliknya yaitu kondisi social maladjustment (Fairchild, 1962 : 287)[12].
Selain itu, yang senada dengan pandangan Fairchild adalah pandangan dari Gillin (1954 : 74), yang juga melihat pathologi sosial sebagai kondisi masyarakat yang maladjusment. Dikatakannya, bahwa pathologi sosial berarti maladjusment yang serius diantara unsur dalam keseluruhan konfigurasi kebudayaan sedemikian rupa sehingga membahayakan kelangsungan hidup suatu kelompok sosial atau yang secara serius menghambat pemuasan kebutuhan-kebutuhan asasi anggota-anggota kelompok itu yang mengakibatkan hancurnya ikatan sosial mereka.
Di dalam kenyataannya, maladjusment ini dapat dilihat pada level individu maupun level kelompok atau masyarakat. Terjadi pada level individu, apabila individu sebagai anggota masyarakat gagal dalam menyesuaikan dirinya dengan situasi dan tuntutan perkembangan lingkungannya. Kondisi pathologi terjadi pada level kelompok atau masyarakat apabila tidak ada penyesuaian antar unsur dalam sistem sosial. Walaupun demikian, dalam kehidupan bermasyarakat dapat terjadi hubungan saling mempengaruhi antara maladjusment pada level individu dengan maladjusment pada level kelompok atau masyarakat.
Banyaknya individu anggota kelompok yang mengalami maladjusment dapat mendorong terjadinya kehidupan sosial yang kurang sehat. Sebaliknya iklim kehidupan masyarakat yang cenderung mencerminkan kondisi social maladjusment sangat potensial menumbuhkan kondisi serupa pada para anggota masyarakat.


b.      Perspektif Disorganisasi Sosial

Soetomo menjelaskan bahwa ada pandangan lain yang sebenarnya sama dengan pandangan pathologis, dimana sistem sosial dianalogikan sebagai tubuh manusia, yaitu perspektif disorganisasi sosial, namun, perspektif ini tidak melihat organisme tersebut dalam kondisi, sehat atau sakit, melainkan lebih melihatnya sebagai struktur dan fungsi yang organized dan disorganized atau integrated dan disintegrated. Apa yang biasa disebut sistem adalah suatu struktur yang mengandung seperangkat aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindak dan aktivitas. Di dalam struktur tersebut terkandung unsur value, status, position dan institution, (Parrillo, 1987:27). Menurut perspektif ini, masyarakat menjadi organized disamping karena keserasian hubungan antar bagian juga didukung oleh seperangkat pengharapan/ tujuan dan seperangkat aturan (Julian, 1986 :13).[13]
Social organization ditandai oleh adanya hubungan yang harmonis diantara elemen yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Elliot and Merrill, 1961: 4). Hal yang sebaliknya dapat digunakan untuk mendefinisikan social disorganization, yaitu apabila proses interaksi sosial dan fungsi yang efektif dari kelompok terpecah atau dapat juga dikatakan proses terpecahnya hubungan antar kelompok dalam suatu masyarakat.[14]
Namun, Soetomo menegaskan bahwa konsep social organization dan disorganization merupakan konsep yang relatif, oleh karena tidak ada masyarakat yang organized atau disorganized sepenuhnya. Sebagai konsep yang relatif, maka dapat dikatakan bahwa ada perbandingan terbalik antara social organization dan social diorganization. Semakin tinggi kadar social disorganization, berarti semakin rendah kadar social organization dalam suatu masyarakat; demikian pula sebaliknya.[15]
Seperti halnya dalam perspektif pathologis, dalam perspektif ini, analogi sistem sosial dalam bentuk tubuh manusia mulai ditinggalkan atau di falsifikasi, yang difalsifikasi adalah analogi tubuh manusia sementara pondasi pemikirannya masih berdasar kepada fakta sosial adalah struktur sosial dan pranata sosial, sehingga masih termasuk kepada teori struktural fungsional. Dalam pandangan barunya, penyebab terjadinya masalah sosial adalah masyarakat lebih mudah berubah dan lebih lemah dalam menghadapi elemen-elemen baru dan situasi konflik dibandingkan human organic (Parrillo, 1987 : 27). Sehingga mengakibatkan pemahaman mengenai masalah sosial dilakukan dalam konteks perubahan sistem dengan dasar asumis bahwa kehidupan masyarakat bersifat dinamis dan senantiasa berkembang dan tidak jarang berada pada situasi perubahan yang membingungkan. Manusia modem selalu dituntut untuk menyesuaikan dengan situasi seperti ini. Individu, keluarga, masyarakat, negara, dan masyarakat antar bangsa semuanya saling terkait dan saling terlibat dalam berbagai tingkat dan variasi perubahan situasi. Dalam kondisi semacam ini seringkali mengakibatkan adanya pola-pola baru, tingkah laku baru dan kepercayaan baru yang belum sepenuhnya terbentuk sedang pola lama sudah ditinggalkan, sehingga mengakibatkan hubungan antar kelompok mengalami ketegangan. Apabila prosesnya sudah sampai pada suatu kondisi hubungan antar kelompok yang terpecah (atau ekstrim-nya berantakan) maka terjadilah gejala disorganisasi sosial (Elliot and Merrill, 1981: 3).[16]
Langkah lain yang cukup penting dalam studi masalah sosial menurut perspektif disorganisasi sosial ini adalah pengukuran (measurement). Pengukuran dimaksudkan untuk melakukan identifikasi adanya gejala disorganisasi sosial termasuk melihat kadar masalahnya. Salah satu cara pengukuran adalah dengan menggunakan nilai social (social value), atas dasar pertimbangan bahwa disorganisasi sosial tidak jarang menampakkan diri dalam bentuk konflik nilai. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa nilai sosial sulit diukur, akan tetapi usaha melakukan pengukuran dengan cara ini tetap dilanjutkan.[17]
Menurut perspektif ini, disorganisasi sosial terbentuk melalui suatu proses yang berkaitan dengan berbagai fenomena sosial yang lain seperti struktur sosial, perubahan sosial, nilai sosial dan krisis sosial. Pecahnya sistem dan ketidakpastian nilai dapat mengakibatkan kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memberikan peluang pada individu untuk melakukan penyimpangan, individu terombang-ambing diantara berbagai nilai dan peranan yang saling bertentangan, dan masih banyak penjelasan yang lain.[18] Berdasarkan pada asumsi bahwa sosial disorganization tumbuh melalui proses sosial, maka sebetulnya upaya treatment menurut perspektif ini tidak begitu relevan, oleh karena secara alamiah masyarakat nantinya akan berproses kembali pada kondisi social organization. Dengan demikian yang pelu ditangani adalah dampak atau efek dari kondisi disorganisai sosial itu sendiri. Disamping itu penanganan masalah dapat berupa reestablisment of consensus melalui kompromi atau dengan jalan suatu kelompok dengan kekuatan (power) yang dimiliki mempercepat tampilnya keseimbangan baru yang diharapkan (Parrillo, 1987 : 29).[19]

c.       Perspektif perilaku menyimpang
Soetomo menjelaskan selain dari dua perspektif tersebut, ada perspektif lain yang berbeda landasan pondasinya, yaitu perspektif perilaku menyimpang, dimana perspektif ini melandasi asumsi kepada pranata sosial, yang juga merupakan bagian dari sistem sosial sehingga masih tergolong kepada perspektif struktural fungsional. Dalam perspektif ini, pranata sosial dianggap sebagai sesuatu faktor yang ikut menegakkan keteraturan dan keseimbangan dalam sistem sosial, yang berarti juga menegakkan eksistensi dari sistem itu sendiri. Semua kelompok sosial membentuk aturan-aturan dan berusaha menegakkannya, bahkan dalam situasi tertentu memaksakannya. Aturan-aturan sosial membatasi sikap tindakan manusia sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga ada aturan yang melarang, memerintahkan dan membolehkan (Soerjono Soekanto, 1988:1).[20]
Dalam kedudukan yang demikian, aturan-aturan sosial ini akan berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku individu maupun kelompok dalam melakukan kehidupan bermasyarakat termasuk dalam saling berinteraksi dengan sesamanya, agar dapat terintegrasi kedalam sistem harus dapat berperilaku sesuai "aturan permainan" yang berlaku. Oleh sebab itu, setiap anggota masyarakat perlu memahami aturan permainan ini dan lebih lanjut menggunakannya sebagai pedoman dalam segenap perilaku dan tindakannya. Pada dasarnya pemahaman ini diperoleh melalui proses sosialisasi individu dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, proses sosialisasi tidak lain adalah proses belajar untuk mempelajari pranata sosial termasuk di dalamnya nilai dan norma sosial atau aturan-aturan sosial. Adopsi terhadap nilai dan norma sosial tersebut dapat terjadi melalui proses transfer dari satu pihak ke pihak yang lain termasuk dari generasi ke generasi, serta dapat juga karena adanya unsur sanksi baik formal maupun informal dari sementara aturan sosial tertentu yang dapat memaksa anggota masyarakat untuk mematuhinya (Soetomo, 1995:28).
Dalam perspektif ini, masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Oleh karena jalur yang harus dilalui tersebut adalah jalur pranata sosial, maka wajar apabila pranata sosial merupakan tolok ukur yang digunakan untuk melihat suatu perilaku menyimpang atau tidak.[21]
Mengacu kepada konsep tersebut, penulis menilai bahwa pada dasarnya perbuatan menyimpang atau tidak menyimpang ditentukan kepada pranata sosial, sementara pranata sosial antara suatu kelompok dengan kelompok lain berbeda, serta pranata tersebut akan selal mengalami perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perubahan sosial, serta struktur sosial di dalam masyarakat selain bersifat horizontal, juga bersifat vertikal atau bertingkat. Dalam arti bisa saja, sebuah struktur sosial yang merupakan sebuah bagian dari sebuah struktur sosial yang lebih tinggi, ternyata memiliki pranata sosial tertentu yang berbeda dengan pranata sosial yang ada diatasnya. Apalagi terhadap struktur sosial yang sederajat atau bersifat horisotal, sehingga penulis menilai kategori menyimpang ini bersifat relatif dan perlu untuk sebuah kepastian mengenai acuan yang digunakan dalam rangka mendefinisikan masalah sosial dari perspektif ini.
       
2.       Menurut Teori konflik.
Soetomo menyatakan bahwa perspektif ini pada prinsipnya dibangun dengan atas dasar paradigma yang sama dengan teori fungsional struktural yaitu paradigma fakta sosial. Walaupun demikian, pola pikir teori ini bertentangan dengan teori fungsional struktural, termasuk proposisi-proposisinya. Asumsi dasar dari Teori ini adalah wewenang dan posisi, yang keduanya merupakan fakta sosial, sehingga menilai bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya, dimana setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial dan keteraturan yang terdapat dalam masyarakat bukan karena masyarakat menjadikan nilai-nilai/norma yang ada sebagai pedoman melaikan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa[22].
Distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematik. Perbedaan wewenang merupakan suatu tanda adanya berbagai posisi dalam berbagai masyarakat. Kekuasaan dan wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Oleh karena wewenang itu saham maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian, sebetulnya masyarakat merupakan persekutuan yang terkoordinasi secara paksa. Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara subtansial. Pertentangan tersebut terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan.[23]

a.       Perspektif Konflik Nilai
Perspektif ini mula-mula yang muncul berdasarkan Teori Konflik adalah persepktif Konflik Nilai. Perspektif ini mengkritisi konsep pathologis / penyakit / sickness, mengingat konsep sickness yang menganalogikan tubuh manusia sebagai gambaran masyarakat, dinilai terlalu subyektif karena bersifat social expectation, sehingga sulit untuk dijadikan referensi dalam memahami masalah sosial[24]. Dalam rangka mendeskripsikan konsep ini. Soetomo menjelaskan bahwa berdasarkan pemikiran diatas, maka dapat dikatakan bahwa penyimpangan terhadap peraturan tidak selalu sama dengan kegagalan dari peraturan tersebut dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat yang berkembang semakin kompleks, dapat saja penyebab terjadinya penyimpangan peraturan tersebut karena si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda bahkan saling bertentangan. Dalam pola pikir semacam itu masalah sosial terjadi apabila dua kelompok atau lebih dengan nilai yang berbeda saling bertemu dan berkompetisi (Julian, 1986:13).[25]
Untuk menjelaskan pengertian tersebut Julian mengambil contoh kasus tuan tanah dengan petani penggarap. Tuan tanah menghendaki sewa tanah dinaikkan, sementara itu petani penyewa mengharapkan sewa tanah yang rendah. Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan oleh karena nilai dan kepentingan berbeda. Konsekuensi lebih lanjut, dalam masyarakat dapat timbul polarisasi. Masalah sosial mungkin tidak terjadi apabila pihak yang kuat bersedia berkorban bagi yang lemah (terjadi kompromi). Sebaliknya, masalah sosial akan timbul apabila yang kuat justru menggunakan kekuatannya untuk membela kepentingannya. Dalam kenyataannya, situasi konflik tersebut dapat berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading dan power. Dalam hal hubungan tuan tanah dan petani penyewa yang dijadikan sebagai contoh kasus, maka alternatif konsensus terjadi apabila tuan tanah dan petani penyewa sepakat bahwa kenaikan sewa tanah dalam jumlah yang tidak terlalu besar masih dapat dipahami bersama. Trading, apabila tuan tanah bersedia menekan kenaikan sewa tanah dengan kompensasi tertentu. Power, apabila tuan tanah mengusir petani penyewa yang tidak memenuhi tuntutan kenaikan sewa[26].
Mengacu kepada konsep tersebut diatas, konflik kepentingan dipersepsikan oleh perspektif konflik nilai merupakan bagian dari masalah sosial, karena di dalam suatu kehidupan sosial didalamnya terdapat berbagai variasi nilai dan kepentingan[27], sehingga konflik kepentingan termasuk masalah sosial, sekalipun konflik kepentingan tersebut terjadi antar individu.
Berdasarkan konsep Julian sebagaimana diutarakannya dalam konflik antara pemilik tanah dan penyewa sebagaimana tersebut diatas, penulis menilai bahwa perspektif konflik nilai menyatakan bahwa masalah sosial dapat saja terjadi dalam lingkup interaksi antar individu, yaitu pada saat terjadi konflik terbuka, sehingga eskalasi konflik yang lebih besar sudah tidak perlu dibahas lagi karena sudah dapat dipastikan merupakan masalah sosial menurut perspektif konflik nilai. Tentunya konsep ini dapat saja menjadi rancu apabila setiap konflik terbuka dinyatakan sebagai masalah sosial karena ada beberapa konflik terbuka yang bukan merupakan masalah sosial atau tidak menjadi masalah sosial, karena menurut teori konflik dari perspektif ilmu komunikasi, konflik ditimbulkan oleh perbedaan cara pandang, kepentingan dan resistensi perubahan, serta ada beberapa jenis perilaku konflik, ada yang memilih untuk melakukan konflik terbuka dan ada juga yang memilih untuk melakukan konflik secara tertutup, konflik tertutup tidak berarti tidak terjadi konflik. Salah satu bentuk konflik adalah adanya perbedaan pendapat diantara dua orang sahabat atau diantara suami-istri, namun dalam rangka untuk menghindari akibat yang merusak terhadap sebuah hubungan, maka salah satu pihak memutuskan untuk tidak melayani atau merespon terlalu jauh atas penerimaan materi atau pokok-pokok pikiran yang bertentangan dengan pemikirannya. Selain itu, banyak pihak yang menilai bahwa konflik yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga, sekalipun yang bersifat terbuka bukan merupakan masalah sosial, dalam arti ada kecenderungan dari masyarakat untuk tidak terlibat lebih jauh dalam sebuah permasalahan yang terjadi di dalam suatu keluarga. Sehingga penulis menilai bahwa pandangan mengenai konflik nilai ini perlu mendapatkan pembatasan atau limitatif yang jelas, kapankan sebuah konflik dinyatakan sebagai masalah sosial dan kapan konflik tersebut bukan dinyatakan sebagai masalah sosial. Namun pendapat Julian terkait bagaimana ‘sikap yang tepat’ dalam rangka menghadapi situasi yang dapat memicu ke arah konflik dapat dijadikan pedoman oleh penulis dalam pembahasan selanjutnya.
 Dengan adanya perspektif ini, yang mana lahir karena mengkritisi perspektif panthologi sosial, penulis menilai bahwa perspektif ini jugalah yang memicu adanya perspektif disorganisasi sosial, dalam arti penganut aliran stuktural fungsional mengakui kebenaran pola pikir dari perspektif konflik nilai namun tidak sepenuhnya sependapat dengan pola pikir perspektif konflik nilai sehingga membangun sebuah pemahaman baru dengan menggabungkan antara pola pikir stuktural fungsional dan pola pikir konflik nilai, yang menghasilkan perspektif disorganisasi sosial.

b.      Perspektif Institusional

Perspektif ini melihat bahwa masalah sosial merupakan salah satu bentuk kondisi sosial. Dengan demikian objek studi tentang masalah sosial adalah masyarakat itu sendiri. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dari dua alasan: (1) masyarakatlah yang menimbulkan suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya kerugian fisik dan mental dalam berbagai bagian kehidupan sosial; (2) masyarakat yang menyebabkan adanya tindakan dan kondisi yang melanggar norma dan nilai terjadi dalam lingkungan masyarakat. Dengan demikian, basis dari unit analisa untuk memahami masalah sosial adalah masyarakat khususnya struktur sosialnya[28].
Latar belakang perspektif ini didasarkan kepada: (1) adanya suatu kenyataan bahwa warga masyarakat pada umumnya, instansi kepolisian, pengadilan dan bahkan banyak ahli ilmu sosial cenderung membuat interpretasi tentang masalah sosial dari sudut perspektif individual. Dengan demikian dibutuhkan suatu imbangan karena menurut realitanya masalah sosial juga dapat bersumber dari sistem; (2) pokok persoalan ilmu sosial bukan terletak pada aspek individu melainkan masyarakat. Oleh karena ahli ilmu sosial harus menitik beratkan pada determinan sosial dalam rangka mengkaji suatu masalah, maka seharusnya melakukan pembahasan melalui analisis yang kritis tentang struktur sosial; (3) tidak dapat diingkari bahwa kerangka institusional dari suatu masyarakat adalah merupakan sumber masalah sosial (masalah rasial, polusi, distribusi pelayanan kesehatan yang tidak merata, kemiskinan, peperangan dan sebagainya)[29].
Soetomo menilai latar belakang perspektif ini memiliki kerawanan yaitu, seringkali dilupakan bahwa sistem hanya merupakan sebagian dari kebenaran untuk menjelaskan masalah sosial. Hal ini disebabkan karena masalah sosial mengandung fenomena yang sangat kompleks yang di dalamnya terkandung baik aspek individual maupun aspek sistematik. Kerawanan lainnya adalah apabila orang menggunakan Sosial/System Blame Approach ini secara dogmatis dalam menjelaskan masalah sosial. Pola pikir yang demikian akan dapat menjurus pada anggapan yang kurang tepat; seolah-olah individu hanya merupakan semacam robot yang sepenuhnya dikendalikan oleh lingkungan sosialnya[30].
Alur pikir dari perspektif ini mengenai masalah sosial adalah sebagai berikut: masyarakat tersusun dalam suatu struktur dimana sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuatan (power) termasuk penguasaan resources, kesempatan dan peluang yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian, lapisan ini mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam sistem sosialnya. Sebagai akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara lapisan yang lebih menguasai power, resources dan kesempatan, dibanding lapisan lain. Pada umumnya lapisan yang menguasai power dan resources ini cenderung ingin mempertahankan status quo dalam rangka mempertahankan posisi dan kepentingannya (Parrillo, 1987:29). Kondisi semacam ini yang kemudian dapat menjadi sumber berbagai masalah sosial (kejahatan, kemiskinan, penganggaran masalah daerah kumuh dan sebagainya)[31].
Sehubungan dengan hal tersebut Eitzen (1986:10) mencoba menjelaskannya melalui Teori Human Basic Needs Abraham Maslow dant Teori konflik Ralp Dahrendorf. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai dan merasakan adanya beberapa kebutuhan dasar (shelter and sustenance, security, group support, esteem, respect, and self actualization). Dengan adanya berbagai kebutuhan tersebut, wajar apabila setiap orang berusaha memenuhinya. Oleh karena dalam proses pemenuhannya juga berkaitan dengan orang lain, maka pemenuhan kebutuhan dasar tersebut juga dapat terjadi dalam proses hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat dipahami apabila pemenuhan kebutuhan dasar tersebut juga akan berhadapan dengan struktur masyarakatnya. Apabila struktur masyarakat berposisi seperti yang digambarkan oleh Dahrendorf, maka dapat saja terjadi pemenuhan kebutuhan tadi akan mendapatkan hambatan struktural terutama dari kenyataan adanya penguasaan power, resources dan kesempatan yang tidak sama dan dari usaha lapisan tertentu yang lebih menguasai power, resorces dan kesempatan tersebut dalam rangka mempertahankan status quo.
Dari keadaan inilah masalah sosial dapat muncul baik berupa masalah yang disebabkan oleh karena sebagian warga masyarakat gagal dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya atau masalah yang disebabkan oleh karena sebagian warga masyarakat menempuh cara di luar sistem dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Masalah yang terakhir tersebut dapat terjadi karena dengan cara sesuai sistem, merasa tidak mungkin akan dapat berhasil memenuhi kebutuhannya, disebabkan oleh berbagai hambatan struktural seperti yang sudah disebutkan di depan[32].
Untuk lebih menjelaskan pola pikir perspektif ini dapat dilakukan dengan mencoba mengaplikasikannya dalam salah satu bentuk masalah sosial secara konkrit, masalah kemiskinan misalnya. Menurut perspektif ini, masalah kemiskinan bukan disebabkan karena adanya cacat individual dari kalangan miskin, seperti cacat pembawaan, cacat fisik maupun mental, atau cacat kultural, melainkan disebabkan oleh adanya institusional discrimination, terutama dalam bentuk perbedaan penguasaan power, resources dan peluang dalam struktur sosialnya. Kemiskinan semacam ini bukan karena orang-orangnya lemah, malas atau karena kulturnya tidak mendorong untuk bekerja keras melainkan karena kondisi struktural. Oleh sebab itulah, kemudian sering disebut juga sebagai kemiskinan struktural. Dalam masyarakat pedesaan dapat berupa pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak merata, dominasi elite desa dalam proses pengambilan keputusan, penguasaan oleh lapisan tertentu terhadap sektor dan peluang yang menguasai hajad hidup orang banyak, dan sebagainya[33].
Masalah tersebut oleh Julian (1986:205) dibahas dalam kaitan antara kemiskinan dan kelas sosial (poverty and social class); oleh Parrillo (1987: 305) dibahas dalam kaitan dengan kondisi struktur sosial yang ditandai oleh ketimpangan dan konflik yang tak terelakkan, (inequality and inevitable conflict); yang kesemuanya itu identik dengan pelacakan latar belakang masalah sosial dari sisi struktur sosial dan institusi sosial. Hal yang kurang lebih sama, dapat juga digunakan untuk memahami bentuk masalah sosial yang lain, misalnya kejahatan. Orang terdorong pada tindak kejahatan atau kekerasan karena adanya distribusi penguasaan sumber daya (resources) dan kesempatan yang kurang baik dalam masyarakat. Situasi tersebut dapat menimbulkan kondisi stress dan putus asa yang dapat mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan dan kekerasan.
Berdasarkan uraian diatas, pada prinsinya penulis sependapat dengan konsep mengenai penyebab terjadinya masalah sosial, namun mengingat pembahasan masalah sosial tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bersifat makro dimana sebagian besar orang tidak akan memperdebatkan bahwa permasalahan yang bersifat makro tersebut adalah masalah sosial, penulis menilai perspektif ini apabila dijadikan acuan terhadap masalah-masalah yang bersifat mikro, kurang dapat memberi penjelasan yang berarti, misalnya apakah seorang gadis, yang tinggal di lingkungan masyarakat yang agamis, telah mengandung tanpa memiliki suami, sehingga mengundang reaksi dari masyarakat di lingkungan tersebut, tentunya perspektif ini akan sulit menjelaskan apakah permasalahan tersebut merupakan permasalahan sosial ataukah bukan.

PENGERTIAN MASALAH SOSIAL, BATASAN-BATASANNYA SERTA KAPANKAH SUATU MASSALAH DIANGGAP SEBAGAI MASALAH SOSIAL (BERDASARKAN INTI SARI DARI TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN TEORI KONFLIK).
Kedua teori struktural sosial dan teori konflik, pada dasarnya menjadikan fakta sosial sebagai pondasi dalam mengembangkan teori tersebut. Perbedaannya, dalam Teori Struktur sosial, fakta sosial terdiri dari struktur sosial dan pranata sosial, namun dalam teori konflik, fakta sosial dipersepsikan sebagai wewenang dan posisi. Walau demikian, Teori Konflik tetap mengakui adanya struktur sosial, hanya saja diungkapkan dalam frasa “kelompok, “pihak”, “generasi” dan sejenisnya.
Mengingat pengertian struktur sosial atau kelompok tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Soetomo serta penjelasan mengenai apa sebenarnya pranata sosial dan bagaimana terbentuknya kurang kompeherensif informasi yang diberikan, sehingga penulis akan menggunakan konsep mengenai struktur sosial dan pranata sosial dari para ahli lain yang tidak termuat dalam Buku “Masalah Sosial dan Pembangunan” milik Soetomo.
Maurice Hauriou menyatakan bahwa manusia sebagai mahluk sosial pada dasarnya selalu memiliki ide untuk membentuk suatu perkumpulan dengan berbagai tujuan, ide tersebutlah yang mengakibatkan terjadinya struktur-struktur sosial di dalam masyarakat. Struktur tersebut bertingkat-tingkat, mulai dari sebuah tingkat yang paling rendah, misalnya keluarga hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti Negara. Tentunya struktur sosial seperti perkumpulan masyarakat desa, kelompok buruh, pengusaha, profesi pekerjaan dan lain, dipersepsikan oleh penulis termasuk diantara yang terendah dan tertinggi tersebut. Penekanan Hauriou ada pada aktivitas dari masing-masing sruktur tersebut, dimana pranata sosial (norma) tercipta dari konsep bagaimana struktur sosial tersebut melakukan aktivitasnya. Dalam rangka melakukan generalisasi, penulis akan menggunakan perspektif strukturaL fungsional yang menyatakan bahwa tujuan dari pranata sosial adalah untuk menciptakan social order.
Terkait, mengapa struktur sosial terbentuk, penulis menilai konsep dari Maurice Hauriou sudah cukup untuk menjelaskan mengapa struktur sosial terbentuk. Namun mengenai penyebab pranata sosial terbentuk dan hakikat keberadaan pranata sosial, penulis akan mencoba menggabungkan pemahaman Maurice Hauriou dengan perspektif dari kedua teori diatas (struktural fungsional dan konflik). Mengacu kepada Maurice Hauriou yang menyatakan bahwa pranata sosial terbentuk dari konsep bagaimana seharusnya sebuah struktur sosial melakukan aktivitasnya, penulis mempersepsikan konteks ‘konsep’ yang diutarakan Hauriou adalah pengetahuan dari individu-individu yang ada dalam sebuah struktur sosial tersebut, pengetahuan bagaimana sebuah struktur dapat beraktivitas dengan baik sesuai dengan hakikat awal terbentuknya struktur sosial tersebut. Mengingat bervariasinya tujuan awal terbentuknya sebuah struktur sosial, maka penulis menilai bahwa pendapat dari perspektif struktural fungsional yang menyatakan bahwa tujuan dari keberadaan pranata sosial pada struktur sosial adalah untuk menciptakan social order dalam struktur sosial tersebut, karena: apa pun tujuan dan konsepsi keberadaan dari sebuah struktur sosial, dalam melakukan aktivitasnya, setiap struktur sosial pasti menciptakan aturan atau pranata sosial untuk menjaga dan memelihara ketertiban sosial di dalam lingkungan struktur sosial tersebut.
Dengan demikian Konsep social order tersebut, penulis nilai dapat menjadi sebuah konsep yang generalis dan dapat menjelaskan tujuan dari adanya pranata sosial pada sebuah struktur sosial, dalam arti apa pun tujuan awal pembentukan struktur sosial, yang sudah pasti beraneka ragam, tujuan utama dari keberadaan pranata sosial di dalam sebuah struktur tentunya ditujukan untuk menciptakan keteraturan sosial dalam struktur sosial tersebut. Mengingat perilaku sosial dari elemen-elemen yang ada dalam masing-masing struktur sosial akan mempengaruhi satu sama lain dimana pengaruh tersebut dapat berkembang ke arah yang berbeda dari hakikat awal terbentuknya struktur sosial, maka pranata sosial menjadi rambu utama dalam struktur sosial tersebut.
Pranata sosial tersebut akan memberikan rambu-rambu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, yang mana rambu-rambu tersebut terbentuk dari pengetahuan yang ada pada elemen-elemen struktur sosial tersebut. Itulah sebabnya rambu-rambu yang ada pada suatu struktur sosial bisa saja berbeda dengan rambu-rambu yang ada pada struktur sosial yang lain, hal ini disebabkan adanya perbedaan pengetahuan dan cara pandang terkait tujuan dari struktur sosial tersebut. Selain itu, perkembangan dinamika masyarakat dengan berbagai kendala dan tantangannya akan melahirkan pengetahuan baru, itulah juga sebabnya pranata sosial mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh elemen-elemen yang ada dalam struktur sosial tersebut.
Penulis memiliki pertanyaan: “mengapa individu-individu yang merupakan elemen-elemen dari sebuah struktur sosial, sangat reaktif terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang yang dilakukan oleh salah satu individu yang ada di dalam struktur sosial tersebut?”. Bukankah dalam sebuah struktur sosial, banyak sekali terdapat individu (selain keluarga), dalam arti aktivitas yang menyimpang dari satu individu saja, logikanya tidak akan mempengaruhi aktivitas dari struktur sosial, namun mengapa seolah-olah perbuatan yang menyimpang tersebut mengancam eksistensi dari sebuah struktur sosial sehingga seluruh elemen dalam struktur sosial tersebut menjadi reaktif, dalam perspektif perilaku menyimpang pada teori stuktural fungsional, perilaku menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan ‘tegaknya’ sistem sosial.
Dalam rangka mendapatkan penjelasan tersebut, penulis menggunakan Fixing Broken Window Theory, yang mana pada konsepsinya menyatakan bahwa sebuah perilaku yang menyimpang dapat menular kepada individu lain, sehingga setiap penyimpangan harus segera diperbaiki dalam rangka untuk mencegah terjadinya penyebaran, sehingga dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa setiap individu di dalam sebuah sruktur sosial memiliki kesadaran bahwa sebuah perilaku yang menyimpang dapat ‘menular’ kepada individu lain, itulah sebabnya elemen-elemen pembentuk struktur sosial sangat reaktif terhadap penyimpangan karena merasa dapat mempengaruhi individu yang lain dalam struktur sosial tersebut dan apabila dibiarkan ada kemungkinan seluruh individu akan melakukan hal tersebut yang pada akhirnya akan merusak sistem sosial yang ada, yang mana ukuran rusak dan dan tidaknya berdasarkan dari tingkat pengetahuan elemen-elemen yang ada dalam struktur sosial tersebut.
Dengan demikian ‘kesadaran’ tersebut membuat setiap struktur sosial tidak menginginkan adanya sebuah perilaku yang menyimpang di dalam wilayahnya / kelompoknya / komunitasnya, karena keberadaan perilaku tersebut dapat menjadi sebuah awal mula atau pemicu terjadinya sebuah pergeseran nilai ke arah yang negatif yang pada nantinya akan membuat sebuah sistem sosial yang terbentuk menjadi rusak atau tidak berfungsi dan mengakibatkan terjadinya perubahan sistem sosial pada struktur sosial, dimana perubahan ini dianggap tidak sesuai lagi dengan tujuan awal keberadaan struktur sosial tersebut.
Selain itu, dengan adanya perbedaan pengetahuan, maka aktivitas sebuah struktur sosial akan berbeda-beda. Talcott Parsons menyatakan masing-masing struktur sosial memiliki logika, mekanisme dan tujuannya sendiri yang mana logika, mekanisme dan tujuan tersebut berbeda-beda. Itulah sebabnya dalam proses verifikasi dan falsifikai, kedua teori diatas (struktural fungsional dan konflik) pada akhirnya sependapat bahwa masyarakat lebih mudah berubah dan lebih lemah dalam menghadapi elemen-elemen baru dan situasi konflik dibandingkan human organic (Parrillo, 1987 : 27), sehingga mengakibatkan pemahaman mengenai masalah sosial dikaitkan dalam konteks perubahan dengan dasar asumsi bahwa kehidupan masyarakat bersifat dinamis dan senantiasa berkembang dan tidak jarang berada pada situasi perubahan yang membingungkan. Individu, keluarga, masyarakat, negara, dan masyarakat antar bangsa semuanya saling terkait dan saling terlibat dalam berbagai tingkat dan variasi perubahan situasi. Dalam kondisi semacam ini seringkali mengakibatkan adanya pola-pola baru, tingkah laku baru dan kepercayaan baru yang belum sepenuhnya terbentuk sedang pola lama sudah ditinggalkan, sehingga mengakibatkan hubungan antar kelompok mengalami ketegangan. Dalam arti, setiap perkembangan pengetahuan akan mempengaruhi logika, mekanisme dan tujuan dari masing-masing struktur sosial, sehingga setiap struktur sosial dalam melakukan aktivitasnya menyimpan potensi konflik dengan struktur sosial yang lain karena adanya perbedaan logika, mekanisme dan tujuan.
Menurut pemahaman penulis, Teori struktural fungsional dan Teori Konflik, pada dasarnya sepakat menyatakan bahwa pada mulanya seluruh struktur sosial dan pranata sosial dalam keadaan stabil atau tidak saling bersinggungan sama sekali. Perbedaan dari keduanya adalah teori struktural fungsional kurang memperhitungkan mengenai perubahan dan potensi konflik, sehingga mendapat falsifikasi dari Teori Konflik yang menyatakan bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan yang terus menerus diantara unsurnya. Konteks ‘berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus menerus’, oleh penulis dipersepsikan bahwa apabila tidak ada perubahan maka tidak ada pertentangan. Keberadaan pertentangan di dalam kehidupan masyarakat, merupakan tanda adanya perubahan, dengan demikian sebenarnya teori konflik sependapat dengan teori struktural fungsional bahwa pada mulanya semua dalam keadaan seimbang tanpa ada pertentangan. Hanya saja teori struktural fungsional menilai sebuah struktur sosial cenderung bersifat dinamis dan seimbang (tidak cepat berubah), teori konflik menyatakan bahwa perubahan dalam struktural sosial terjadi dengan kecepatan yang signifikan sehingga mengakibatkan konflik. Apabila dikaitkan dengan konsep Hauriou yang menjelaskan hakikat terbentuknya struktur sosial, maka terjadinya komitmen dari masing-masing individu untuk menjadi sebuah bagian dari sebuah struktur sosial menunjukkan bahwa pada mulanya tidak terdapat konflik, kemudian saat beraktivitas, maka konflik tersebut ada, baik konflik yang terjadi diantara elemen pada sebuah struktur sosial maupun konflik saat aktivtasnya bersinggungan dengan struktur sosial yang lain.
Kedua teori juga pada akhirnya sama-sama menyetujui bahwa individu yang menyimpang tidak berasal dari sang individu, melainkan berasal dari lingkungannya, dalam arti justru masyarakatlah yang membuat seseorang menyimpang, respon individu terhadap lingkungan yang memberikan sebuah pengetahuan baru untuk dijadikan sebuah acuan dalam beraktivitas, mengakibatkan individu tersebut melakukan tindakan yang dianggap menyimpang oleh sebuah struktur sosial. Soetomo menegaskan bahwa persepsi menyimpang sangat relative, dimana pada suatu kelompok sosial bisa saja, dianggap tidak menyimpang namun bagi kelompok sosial yang lain tindakan tersebut dianggap menyimpang.
Penulis juga melihat bahwa struktur sosial tidak hanya bersifat horisontal, dalam arti tidak semua struktur sosial dalam keadaan yang setara / sejajar atau bersifat horisontal. Dalam keadaan setara / sejajar / horizontal, kemungkinan yang terjadi saat masing-masing struktur sosial berinteraksi adalah terjadinya peristiwa kooperatif (termasuk kompromi, konsensus dan trading), kompetitif dan konflik. Penulis menilai bahwa struktur sosial juga bersifat vertikal atau bertingkat, dalam arti sebuah struktur sosial bisa saja merupakan bagian dari sebuah struktur sosial yang lain, misalnya desa, bagian dari struktur kabupaten, kabupaten bagian dari struktur provinsi dan provinsi bagian dari struktur Negara atau keluarga merupakan bagian dari desa. Dengan demikian bukan merupakan hal yang tidak mungkin, sebuah pranata sosial dalam sebuah struktur sosial yang lebih kecil juga bertentangan dengan pranata sosial dalam struktur sosial yang lebih besar.
Berdasarkan pemahaman diatas, penulis sependapat dengan pola pikir teori konflik, yaitu masyarakat tersusun dalam suatu struktur dimana sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuatan (power) termasuk penguasaan resources, kesempatan dan peluang yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian, lapisan ini mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam sistem sosialnya. Sebagai akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara lapisan yang lebih menguasai power, resources dan kesempatan, dibanding lapisan lain. Pada umumnya lapisan yang menguasai power dan resources ini cenderung ingin mempertahankan status quo dalam rangka mempertahankan posisi dan kepentingannya (Parrillo, 1987:29). Kondisi semacam ini yang kemudian dapat menjadi sumber berbagai masalah sosial (kejahatan, kemiskinan, penganggaran masalah daerah kumuh dan sebagainya)[34].
Masalah yang disebabkan oleh karena sebagian warga masyarakat gagal dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya atau masalah yang disebabkan oleh karena sebagian warga masyarakat menempuh cara di luar sistem dalam rangka memenuhi kebutuhannya, dapat terjadi karena warga masyarakat berpikir bahwa dengan melakukan aktivitas sesuai dengan sistem yang ada, yang bersangkutan merasa tidak mungkin akan dapat berhasil memenuhi kebutuhannya, disebabkan oleh berbagai hambatan struktural seperti yang sudah disebutkan di depan[35].
Berdasarkan seluruh konsep diatas, maka disimpulkan bahwa masalah sosial berasal dari beberapa sumber yang tidak bisa di generalisasi. Dalam struktur sosial yang kecil, seperti keluarga atau masyarakat desa biasa, masalah sosial bersumber dari perilaku yang menyimpang terhadap suatu pranata sosial, kapankah sebuah perilaku dianggap sebagai sebuah masalah menyimpang, yaitu pada saat perilaku tersebut dianggap melanggar nilai-nilai (value) yang ada di dalam suatu struktur sosial, sehingga ukurannya adalah nilai atau value. Tentunya dalam mempersepsikan kesimpulan tersebut tidak bisa menggeneralisir, mengingat nilai sangat erat dengan konteksnya penegetahuan, dimana pengetahuan sangat dibatasi ruang dan waktu. Demikian juga dengan nilai atau value, karena dilandasi oleh pengetahuan, maka nilai atau value juga terikat oleh ruang dan waktu. Sehingga konsepsi pengukuran sebuah perbuatan harus juga dikaitkan kepada konteks “nilai atau value pada struktur sosial yang mana” dan “kapan perbuatan tersebut dilakukan”. Dalam konteks struktur sosial yang bersifat setara, sejajar atau horizontal, tentunya konsep pengukuran apakah suatu peristiwa sosial dikatakan menyimpang atau tidak, harus diukur berdasarkan nilai atau value yang ada pada suatu struktur sosial dimana peristiwa sosial tersebut terjadi dan kapan peristiwa sosial tersebut dilakukan. Sehingga dengan demikian ada batasan yang jelas mengenai kapankah sebuah masalah sosial terjadi dan pada saat bagaimanakah sebuah peristiwa sosial dianggap sebagai masalah sosial, yaitu pada saat peristiwa sosial tersebut melanggar nilai atau value yang ada pada suatu struktur sosial pada saat (waktu) peristiwa tersebut terjadi. Penggunaan terminologi peristiwa sosial digunakan oleh penulis, karena cakupan peristiwa sosial lebih luas, tidak dibatasi oleh sebuah perbuatan individu namun dapat juga mencakup perbuatan kolektif, dimana perbuatan yang dimaksud tidak terbahtas hanya kepada perbuatan yang dilandasi oleh motif nilai melainkan juga dapat mencakup motif kepentingan.
Konteks ini tentunya berbeda dalam konteks struktur sosial yang bertingkat, karena dalam sebuah struktur sosial yang bertingkat, sebuah peristiwa sosial dapat saja dianggap melanggar nilai atau value yang ada pada sebuah struktur sosial yang lebih rendah tingkat sosialnya, namun dapat saja dianggap tidak melanggar oleh struktur sosial yang lebih tinggi tingkat sosialnya, atau sebaliknya. Adanya kompleksitas tersebut mengakibatkan konteks masalah sosial dalam konteks struktur horizontal, tidak bisa digunakan dalam konteks ini. Dalam konteks hubungan struktur sosial yang bertingkat atau vertikal, tentunya harus benar-benar mempertimbangkan faktor ruang, yaitu pemilihan nilai atau value pada struktur sosial yang mana yang harus digunakan sebagai acuan. Apakah nilai atau value pada struktur sosial yang lebih rendah atau pada struktur sosial yang lebih tinggi atau sebaliknya. Hal ini dapat saja terjadi karena struktur sosial yang lebih rendah tersebut cenderung merupakan sebuah bagian dari struktur sosial yang lebih tinggi. Apabila permasalahan ini terjadi, penulis menilai nilai atau value yang digunakan adalah nilai atau value dimana peristiwa tersebut dianggap sebagai sebuah permasalahan pada suatu struktur sosial, tanpa melihat tingkatan struktur sosial tersebut. Dalam arti apabila sebuah peristiwa sosial dianggap melanggar nilai atau value dari struktur sosial yang lebih rendah tingkat sosialnya, sementara pada struktur sosial yang lebih tinggi tingkat sosialnya menyatakan perbuatan tersebut bukan merupakan sebuah penyimpangan, maka penilaian apakah peristiwa sosial tersebut menyimpang atau tidak, digunakan nilai atau value yang ada pada struktur sosial yang lebih rendah tingkat sosialnya dimana peristiwa sosial tersebut terjadi dan pada saat peristiwa sosial tersebut terjadi. Demikian juga sebaliknya, apabila sebuah peristiwa sosial dianggap bukan merupakan penyimpangan pada sebuah struktur sosial yang lebih rendah tingkat sosialnya, namun dianggap menyimpang oleh struktur sosial yang lebih tinggi tingkat sosialnya maka ukuran yang dipakai adalah nilai atau value yang ada pada struktur sosial yang lebih tinngi tingkatan sosialnya tersebut.
Pandangan penulis apa yang penulis sampaikan mengenai value sebagai ukuran dalam menilai apakah sebuah peristiwa sosial merupakan masalah sosial dalam konteks hubungan antara seorang individu dengan sebuah struktur sosial dan struktur sosial yang lebih tinggi derajatnya / tingkatannya tidak bertentangan atau sejalan dengan teori konflik, karena setiap struktur sosial memiliki power untuk menegakkan pranata sosialnya, apabila sebuah perilaku atau aktivitas tidak melanggar sebuah pranata sosial manapun, baik struktur sosial yang lebih rendah tingkatannya maupun struktur sosial yang lebih tinggi tingkatannya, maka power tersebut tidak akan diaktifkan oleh kedua struktur sosial tersebut. Namun apabila terjadi pelanggaran atas value / pranata sosial yang ada pada salah satu struktur sosial, maka hanya struktur sosial yang merasa pranata sosialnya telah dilanggarlah yang akan mengaktifkan power yang ada padanya tersebut, sehingga value pada sebuah struktur sosial-lah yang dapat menjadi acuan dalam menentukan kapankah sebuah peristiwa sosial menjadi sebuah permasalahan sosial.
Disini tentunya penulis menekankan tidak semua peristiwa sosial (walaupun dianggap sebagai sebuah masalah), dapat dengan serta merta dianggap melanggar nilai atau value yang ada pada masyarakat. Misalnya dalam Teori konflik yang mempersepsikan semua bentuk konflik terbuka adalah permasalahan sosial, walaupun konflik terbuka tersebut terjadi hanya sebatas pada lingkup interaksi antar individu. Penulis menekankan bahwa konsep tersebut bertentangan dengan konsep penulis yang kebetulan sejalan dengan perspektif struktural fungsional, karena beberapa konflik pribadi yang terbuka tidak semuanya dianggap melanggar nilai atau value yang ada di masyarakat, misalnya konflik dalam rumah tangga. Lain halnya apabila konflik terbuka tersebut terjadi dalam bentuk perkelahian antar individu, tentunya pada sebuah struktur sosial tertentu, pertikaian tersebut dianggap merupakan masalah pribadi yang harus diselesaikan oleh masing-masing individu yang terlibat dalam pertikain tersebut sehingga elemen-elemen yang ada dalam struktur sosial tersebut cenderung membiarkan pertikaian tersebut, namun dalam struktur sosial yang lain, pertikaian tersebut bertentangan dengan nilai dan value yang ada pada struktur sosialnya, sehingga masyarakat pada struktur sosial tersebut menilai diperlukannya campur tangan dari seluruh elemen struktur sosial yang ada agar tidak ada perkembangan dari pertikaian tersebut yang dapat mengancam kestabilan sosial pada struktur tersebut. Selain itu, tidak semua masalah sosial berbentuk konflik, dapat saja berbentuk permasalahan sosial yang lain, misalnya dalam sebuah struktur sosial yang agamis, seorang anak perempuan yang mengandung tanpa suami, tentunya akan menjadi sebuah masalah sosial di struktur sosial tersebut. Sehingga ukuran nilai atau value yang ada pada suatu struktur sosial pada saat sebuah peristiwa sosial terjadi, penulis anggap hal tersebut merupakan sebuah ukuran yang sangat kompeherensif untuk menentukan apakah sebuah peristiwa sosial merupakan masalah sosial ataukah bukan.
Selain itu dalam konteks struktur sosial yang lebih luas, seperti Negara. Teori Konflik perspektif institusional menyatakan bahwa masalah sosial terjadi berasal dari struktur sosial, yaitu pada saat ada individu tidak bisa memenuhi kebutuhan yang ada melalui sistem yang ada, dimana sistem yang ada tersebut bersifat diskriminatif akibat tidak adanya peluang yang sama dalam rangka mengakses power, resources dan kesempatan sehingga mengakibatkan akan mengakibatkan sebagian warga masyarakat merasa gagal dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya sehingga memaksa sebagian warga masyarakat tersebut untuk menempuh cara di luar sistem dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Masalah yang terakhir tersebut terjadi karena masyarakat merasa sudah tidak ada lagi kesempatan untuk berhasil apabila menempuh cara-cara yang sesuai sistem, maka pada saat itulah masalah sosial terjadi. Walaupun Teori Konflik menyatakan bahwa tolak ukurnya adalah sistem akses dan distribusi terhadap power, resources dan kesempatan yang ada pada struktur sosial yang paling tinggi. Namun penulis, menilai bahwa konsep penulis dapat digunakan dalam masalah tersebut. Kalau diibaratkan struktur sosial tersebut berbentuk kerajaan dengan pasukan yang kuat membuat aturan yang sangat disktiminatif, sehingga orang-orang tertentu saja yang dapat memperoleh akses terhadap power dan resources, yang artinya sebagian besar orang yang ada dalam kerajaan tersebut tidak bisa mendapatkan power dan resources tersebut. Maka menurut penilaian penulis, pada saat itu, tanpa disadari akan terbentuk sebuah struktur sosial baru dan pranata sosial baru dimana warga kerajaan tersebut akan menganggap bahwa pranata sosial yang telah ditetapkan oleh sang penguasa tidak perlu dipatuhi, sehingga akan terjadi perbuatan-perbuatan menyimpang, misalnya mencuri untuk makan diperkenankan. Tentunya akan menjadi permasalahan apabila pencurian tersebut dilakukan terhadap sesama kaum lemah, maka masyarakat tersebut tetap akan menganggap pencurian tersebut sebagai penyimpangan yang mana penguasa serta warga masyarakat yang lain akan menghakimi si pelaku. Lain halnya apabila pencurian tersebut dilakukan terhadap penguasa, maka masyarakat tidak akan ikut menghakimi sang pencuri karena menganggapnya bukan sebuah penyimpangan hanya sang penguasalah yang akan menghakimi sang pencuri. Apabila masyarakat memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat menghindarkan sang pencuri dari bayang-bayang hukuman sang penguasa, maka kemungkinan besar masyarakat akan melakukan hal tersebut dan apabila masyarakat menilai mereka memiliki kemampuan yang cukup (power) untuk melawan sang penguasa maka kemungkinan warga masyarakat akan melawan dan menghukum sang penguasa dan kemudian menciptakan pranata sosial baru. Namun bila tidak, maka masyarakat hanya akan diam dan bersimpati menyaksikan sang pencuri dihukum sang penguasa. Apa pun situasinya, penulis menilai bahwa value yang ada pada pranata sosial tetap dapat digunakan walaupun dalam situasi perspektif konflik institusional.

Dengan demikian, penulis mendefinisikan masalah sosial adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seorang individu / sekelompok individu pada suatu tempat dan waktu, yang mana aktivitas tersebut dianggap melanggar value yang ada dalam pranata sosial oleh sebuah struktur sosial atau lebih yang ada pada lokasi dan waktu tersebut (Bram, 2015).


Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah cara mengatasinya? Dan bagaimanakah selayaknya otoritas Negara melakukan pengendalian masalah sosial?
Walaupun Teori Konflik Perspektif Institusional menyatakan bahwa untuk masalah sosial yang berasal dari struktur sosial, sehingga treatmentnya disarankan dengan melakukan perubahan struktur sosial. Sayangnya, penjelasan mengenai perubahan struktur sosial ini tidak dijelaskan lebih lanjut sehingga penulis mencoba untuk membuat sebuah penjelasan tersendiri. Kemudian terkait masalah sosial yang tidak berasal dari masalah penyimpangan terhadap nilai atau value yang sebagian besar berasal dari teori struktural fungsional, banyak sekali treatment yang direkomendasikan yang semua bergantung kepada perspektif yang ada pada masing-masing aliran yang memandang bagaimana masalah sosial tersebut terjadi. Dengan demikian penulis mencoba menguraikan berbagai treatment yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah sosial tersebut.
Eugen Erlich, salah satu ahli hukum yang mencoba mengkaji hukum dari sudut pandang ilmu sosial, memperkenalkan konsep sociological jurisprudence dengan istilah the living law, yang berarti hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat. Sebagian besar ahli hukum menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah the living law adalah hukum tidak tertulis yang memang kenyataannya benar-benar ada di masyarakat. Namun penulis tidak menilai demikian, yang dimaksud dengan the living law tersebut adalah pemahaman masyarakat terkait hukum, baik yang tertulis yang dikeluarkan oleh Negara dan hukum tidak tertulis yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Keseluruhan hukum tersebut berkolaborasi dan bersinergi di dalam logika masyarakat dan menjadi acuan bagi masyarakat dalam beraktivitas. Konsep The Living law ini dapat dijadikan acuan oleh Negara, bahwa Negara harus menggunakan kekuatan yang ada padanya untuk membuat sebuah aturan yang diterapkan kepada setiap lapisan masyarakat dan berlaku sama terhadap semua struktur yang ada, dimana aturan-aturan ini bersifat universal dan ditujukan untuk kebaikan semua struktur sosial yang ada di dalam Negara tersebut. Penerapan aturan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi pranata-pranata sosial yang ada agar pranata-pranata sosial tersebut mengintergrasikan aturan tersebut ke dalam pranata sosialnya. Sehingga, tidak terjadi sebuah pranata sosial yang dianggap sebagai pedoman hidup oleh suatu struktur sosial, sementara pranata sosial tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan, misalnya keberadaan kampung Ambon di Jakarta yang menilai bahwa berdagang narkotika adalah sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai atau value yang ada di kampung Ambon.
Selain itu Negara harus memahami bagaimana mekanisme penyelesaian masalah yang ada di masyarakat, dimana masyarakat menilai bahwa ruang lingkup hukum tertulis kurang luas dalam arti hukum tertulis tidak dapat mencapai semua aspek kehidupan di masyarakat, maka masyarakat menjadi terbiasa tidak menggunakan hukum tertulis sebagai acuan untuk mengukur sebuah permasalahan sosial dan dalam melakukan penyelesaiannya. Namun penyelesaian berbagai masalah sosial di dalam masyarakat, selalu diselesaikan dengan menggunakan pranata sosial atau the living law, dengan demikian komposisi penggunaan hukum tertulis tidak terlalu besar porsinya, misalnya bagaimana reaksi masyarakat yang ada di dalam struktur sosial yang agamis menyelesaikan permasalahan terkait seorang perempuan yang mengandung tanpa memiliki suami, dalam hukum tertulis yang dikeluarkan Negara kita: Indonesia, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang menyimpang namun masyarakat agamis yang ada pada struktur sosial tersebut menilai bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku menyimpang, sehingga harus memberikan sanksi kepada perempuan tersebut agar tidak dikuti oleh anggota masyarakat yang lain, namun karena Negara kita menyatakan bahwa membunuh atau menganiaya orang lain merupakan sebuah pelanggaran pidana, maka mayoritas sanksi yang diberikan terhadap permasalahan tersebut adalah dicemooh, dikucilkan atau diusir dari lingkungan masyarakat tersebut (sanksi sosial sesuai pranata sosial yang ada). Dalam arti penerbitan hukum pidana oleh Negara kita telah terintegrasi dengan baik ke dalam pranata-pranata sosial yang ada di dalam masyarakat.
Penyelesaian masalah-masalah sosial yang mengacu kepada pranata sosial yang ada, harus disadari oleh Negara dan dihormati keberadaannya oleh Negara. Walaupun Negara secara hukum nasional tidak bisa menyatakan perbuatan tersebut merupakan perbuatan menyimpang bukan berarti Negara melindungi perbuatan tersebut. Walaupun demikian, Negara harus menerbitkan berbagai aturan yang berdampak terhadap penerapan sanksi-sanksi sosial oleh masyarakat agar lebih humanis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, sehingga tidak ditemukan tindakan penghukuman oleh masyarakat yang melampaui batas-batas kemanusiaan, seperti merajam, membakar, dsb.
Dalam rangka mewujudkan tersebut, selain menerbitkan berbagai aturan dengan tujuan mengintegrasikan aturan Negara ke dalam pranata-pranata sosial yang ada di masyarakat, Negara harus menunjuk salah satu organnya untuk ikut serta menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan nilai atau value yang ada pada tiap-tiap struktur sosial yang ada, penunjukkan tersebut dimaksudkan agar Negara memiliki kemampuan untuk mencegah agar pemberian sanksi yang dilakukan oleh masyarakat tidak melanggar hukum nasional yang telah disusun berdasarkan nilai-nilai yang bersifat universal tersebut.
 Sebagaimana disampaikan oleh penulis, dari contoh mengenai masalah sosial berupa seorang perempuan yang mengandung tanpa memiliki suami adalah salah satu bentuk dan cerminan bahwa hukum tertulis belum bisa mencapai keseluruhan aspek kehidupan masyarakat, sehingga kekosongan hukum tersebut mengakibatkan masyarakat membuat berbagai pranata sosial dalam rangka dijadikan pedoman atau rambu-rambu dalam melakukan aktivitasnya. Maka dengan mengacu kepada konsep bahwa hukum tertulis sangat terbatas jangkauannya, adalah hal wajar apabila di dalam kehidupan masyarakat terdapat fenomena berupa kebiasaan untuk menggunakan hukum-hukum tidak tertulis dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Kebiasaan ini mengakibatkan nilai hukum tertulis bagi masyarakat kurang terlalu memiliki faedah, sehingga menjadi sebuah aktivitas yang rutin apabila berbagai permasalahan sosial di masyarakat diselesaikan dengan pranata sosial. Sehingga kebiasaan tersebut menjadi sebuah pranata sosial baru (routine activity theory), bahwa penyelesaian masalah sosial dilakukan melalui lembaga sosial yang ada di masyarakat. Sehingga menjadi sesuatu yang wajar apabila dalam konteks masalah sosial tersebut melanggar hukum nasional, masyarakat menginginkan penyelesaiannya dilakukan dengan cara-cara yang biasa dilakukan masyarakat, misalnya memberikan ganti rugi, berdamai atau saling memaafkan.
Perbedaan pola-pola penyelesaian atas sebuah permasalahan sosial ini, ternyata menjadi permasalahan tersendiri, sehingga perlu dikaji lebih dalam dan luas mengenai bagaimana seharusnya Negara menyelesaikan hal tersebut.

To be Continue……
Jakarta 7 Desember 2015


[1] Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Pustaka Jaya, 1995), h.14
[2] Ritzer, George, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Judul Asli: Sociology A Multiple Paradigm Science), Boston: Allyn and Bacon, 1980, hlm. 110
[3] Soetomo, Op.Cit, p.15
[4] Ibid, p.16
[5] Ibid, p.17
[6] Ibid, p.18
[7] Ibid, p.18
[8] Ibid, p.18
[9] Ibid, p.18-19
[10] Ibid, p.19
[11] Ibid, p.20
[12] Ibid, p.20
[13] Ibid, p.22
[14] Ibid, p.22
[15] Ibid, p.22-23
[16] Ibid, p.23
[17] Ibid, p.24
[18] Ibid, p.25-27
[19] Ibid, p.27
[20] Ibid, p.27
[21] Ibid, p.28-29
[22] Ibid, p.32-33
[23] Ibid, p.33
[24] Ibid, p.36
[25] Ibid, p.36
[26] Ibid, p.36-37
[27] Ibid, p.40
[28] Ibid, p.41
[29] Ibid, p.42
[30] Ibid, p.42-43
[31] Ibid, p.43
[32] Ibid, p.43-44
[33] Ibid, p.44-45
[34] Ibid, p.43
[35] Ibid, p.43-44
 
© 2009 WAHYU BRAM BLOGSPOT. All Rights Reserved | Powered by Blogger
Design by psdvibe | Bloggerized By LawnyDesignz