by Wahyu Bram
Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Kepolisian STIK-PTIK, Angkatan V
Apa yang dimaksud dengan masalah
sosial? Sepanjang sejarah, sudah banyak ahli yang menerjemahkan masalah sosial
dan penyebab timbulnya masalah sosial. Perbedaan paradigma dan pola pikir serta
teori yang menjadi landasannya mengakibatkan terjadi perbedaan persepsi dan
tentunya menghasilkan perbedaan pengertian.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba
merumuskan pengertian masalah sosial berdasarkan teori struktural fungsional
dan teori konflik yang diulas oleh Soetomo tahun 1995 dalam buku
“Masalah Sosial dan Pembangunan”. Sebelum mengulas dan membahas pengertian
masalah sosial menurut kedua teori tersebut, terlebih dahulu penulis akan
mengkaji teori struktural fungsional dan teori konflik.
1.
Teori
struktural fungsional
Didalam perspektif struktural
fungsional, pengertian dan atau pemahaman mengenai masalah sosial dan penyebab
terjadinya masalah sosial dari waktu ke waktu berubah seiring dengan adanya
proses verifikasi dan fasifilkasi ilmu pengetahuan, walaupun ada perbedaan
pemahaman terkait pengertian masalah sosial dan penyebabnya, mereka tetap
memiliki pandangan yang sama mengenai fakta sosial (struktur sosial dan pranata
sosial).
Para ahli penganut aliran struktural
fungsional menilai bahwa struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada
dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen
yang saling berkaitan dan idealnya, saling menyatu dalam keseimbangan. Asumsi
yang mendasari pemahaman tersebut adalah bahwa setiap struktur dalam sistem
sosial, fungsional terhadap yang lain[1]
(fungsi tersebut dapat besifat positif maupun negatif). Dimana menurut penulis,
pemahaman atau asumsi tersebut lahir berdasarkan penjabaran dari perilaku sosial
itu sendiri, misalnya George Ritzer mempersepsikan bahwa perilaku sosial adalah
perilaku
keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini interaksi
antar individu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku
individu yang bersangkutan.[2] Mengingat
syarat interaksi tersebut
membawa pengaruh kepada suatu individu, maka apabila interaksi tersebut tidak
mengakibatkan pengaruh apa pun, tentunya patut dicurigai bahwa interaksi tersebut
sebenarnya tidak ada. Itulah sebabnya dalam kalimat selanjutnya Soetomo
menyatakan bahwa “kalau tidak fungsional
maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.”[3]
a.
Perspektif
Pathologi Sosial
Para ahli yang
menganut teori struktural fungsional ini, pada mula-mula kelahirannya
menganalogikan bahwa struktur-struktur sosial yang ada seperti tubuh manusia
sebagaimana diutarakan oleh Auguste Comte, yang mana setiap struktur tersebut
memiliki fungsi tertentu[4].
Disini penulis menilai bahwa apa yang disampaikan oleh Comte tentang tubuh
manusia, merupakan sebuah kondisi ideal atau yang seharusnya, layaknya tubuh
manusia dimana setiap fungsi bersinergi satu sama lain dan memiliki
keseimbangan dalam mencapai tujuan, yaitu kehendak dari sang manusia atau sang
pemilik tubuh.
Dengan dasar
analogi struktur sosial seperti tubuh manusia, beberapa ahli mengembangkannya lebih
lanjut proses (verifikasi), misalnya seperti Herbert Spencer yang
menganalogikan seperti organisme sosial.[5]
Menurut penulis, analogi ini pada prinsipnya masih sama dengan analogi tubuh
manusia dimana keduanya masih sebagai satu kesatuan organisme, maka seluruh
organ atau bagian tubuhnya bergerak dalam suatu keselarasan sesuai kehendak
dari organisme tersebut.
Dengan pondasi
tersebut maka para ahli mula-mula menyatakan bahwa masalah sosial terjadi
apabila individu atau institusi sosial tidak berhasil dalam mengatur dan
menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi dan oleh karena itu akan
mengganggu atau menghancurkan bekerjanya organisme sosial.[6]
Maksud dari tidak berhasil mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan
disini, yaitu apabila organ-organ atau bagian-bagian tubuh dari organisme
sosial tersebut pergerakannya tidak sesuai dengan keinginan sang organisme
sosial, maka disitulah terjadi masalah sosial. Sehingga masalah sosial dianggap
sebagai organ atau bagian tubuh yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya
karena terserang penyakit.
Emile Durkheim
mencoba memperkuat analogi dari organisme sosial tersebut (proses verifikasi),
dimana masyarakat modern sebagai keseluruhan organisme yang memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh
bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap
langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang
keadaan yang bersifat pathologis (Poloma 1987 : 25)[7].
Disini, Durkheim mencoba menegaskan bahwa organ atau bagian tubuh dari
organisme tersebut harus berfungsi sesuai keinginan dari si organisme kalau
tidak maka sang organisme akan menjadi sakit. Dengan mengacu kepada konsep tersebut,
Durkheim secara tidak langsung menyatakan bahwa masalah sosial adalah suatu
kondisi yang dapat membuat masyarakat modern menjadi rusak/ sakit, artinya
masalah sosial diartikan harus memiliki dampak kepada masyarakat dan dampak
tersebut tersebut merupakan dampak yang merusak.
Soetomo
kemudian mencoba menjelaskan lebih lanjut mengenai penyebab timbulnya masalah
sosial dari pandangan tersebut, yaitu:
“ masalah sosial timbul karena
individu gagal dalam proses sosialisasi atau individu karena beberapa cacat
yang dimilikinya, dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai
sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat” [8].
Lebih lanjut Soetomo
menyatakan bahwa pada saat itu persepsi terkait mengatasi permasalahan sosial
penekanannya dilakukan terhadap organ-organ atau bagian-bagian tubuh yang sakit
atau dengan kata lain kepada individu atau institusi yang menjadi sumber
masalahnya[9].
Kemudian
Soetomo menjelaskan, bahwa pandangan mengenai struktur sosial sebagai sebuah
organisme mengalami falsifikasi, yaitu bahwa sebenarnya masyarakat-lah yang
mengakibatkan rusaknya suatu individu, dimana masyarakat yang immoral (immoral
societies) akan menghasilkan individu yang immoral (immoral individu) dan
keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya masalah sosial. Masalah sosial
berkembang dalam usaha mempertahankan social
order.[10]
Falsifikasi ini lahir dari berbagai penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
mengapa seseorang melakukan penyimpangan, yang ternyata penyimpangan yang
dilakukan orang tersebut diakibatkan oleh lingkungannya. Penulis menilai, pandangan
ini walaupun masih berpondasi kepada struktur sosial dan pranata sosial, namun
tentunya dalam menilai apa yang menjadi penyebab masalah sosial menjadi bias,
karena memposisikan masyarakat sebagai sumber masalah, dalam arti konteks
pembahasan dalam hal memprediksi penyebab mengapa sebuah masyarakat menjadi
rusak, tentunya akan menjadi sulit karena kompleksitas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Penulis sangat
menyayangkan tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai statement “Masalah
sosial berkembang dalam usaha mempertahankan social order”, karena penulis yang sejak awal mencoba memahami mengenai
analogi tubuh manusia dan organisme berpendapat bahwa analogi tersebut
menggunakan analogi suatu individu dimana yang mana setiap individu pasti
memiliki keinginan, motivasi dan harapan yang digunakan untuk mendasari setiap
aktivitasnya, sehingga menimbulkan pertanyaan dari penulis, apabila individu
tersebut bukan individu melainkan masyarakat yaitu sekumpulan besar individu,
tentunya akan sulit sekali menentukan apa keinginan, motivasi dan harapan dari
masyarakat tersebut, sehingga dengan adanya pernyataan “usaha untuk
mempertahankan social order”,
tentunya akan menjadi sebuah pondasi yang baik untuk membuat sebuah hipotesis
terkait masalah sosial dan penyebabnya, karena tidak semua masalah merupakan
masalah sosial. Disini penulis memandang sangat perlu untuk menentukan kapan
suatu masalah dianggap sebagai permasalahan sosial dan kapan permasalahan
tersebut bukan merupakan permasalahan sosial.
Terkait dengan
adanya falsifikasi tersebut, agar tulisannya tidak menjadi kabur, Soetomo
mencoba menegaskan kembali bahwa pandangan mengenai pantologis atau penyakit, pada
prinsipnya merupakan sebuah pandangan mengenai perbuatan individu yang yang
tidak dapat melakukan aturan atau menerima cara-cara yang biasa dilakukan suatu
kelompok. Dan Soetomo mengkritisi, pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa:
“ seseorang dikatakan tidak dapat
berbuat sesuai yang diharapkan tersebut bersifat relatif tergantung pada waktu
dan tempat. Dengan demikian, setiap orang sebetulnya potensial untuk menjadi
pathologis dalam dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Orang yang dianggap
normal pada kurun waktu tertentu dapat menjadi pathologis pada kurun waktu yang
lain, demikian juga orang yang dianggap normal menurut ukuran suatu tempat
dianggap pathologis menurut ukuran di tempat lain.”[11]
Terkait
pandangan pantologis, Soetomo juga mencoba menyampaikan bahwa ada sebagian
pihak yang berpendapat bahwa masalah sosial berasal dari kegagalan masyarakat
dalam menyesuaikan dengan berbagai tuntutan yang selalu berkembang, serta
kegagalan dalam melakukan penyesuaian antar bagian dari masyarakat. Dilihat
dari kacamata ini, maka masyarakat yang sehat adalah yang mampu mewujudkan social adjusment, sedangkan masyarakat
dikatakan sakit apabila terjadi kondisi sebaliknya yaitu kondisi social maladjustment (Fairchild, 1962 :
287)[12].
Selain itu,
yang senada dengan pandangan Fairchild adalah pandangan dari Gillin (1954 :
74), yang juga melihat pathologi sosial sebagai kondisi masyarakat yang maladjusment. Dikatakannya, bahwa
pathologi sosial berarti maladjusment
yang serius diantara unsur dalam keseluruhan konfigurasi kebudayaan sedemikian
rupa sehingga membahayakan kelangsungan hidup suatu kelompok sosial atau yang
secara serius menghambat pemuasan kebutuhan-kebutuhan asasi anggota-anggota
kelompok itu yang mengakibatkan hancurnya ikatan sosial mereka.
Di dalam
kenyataannya, maladjusment ini dapat
dilihat pada level individu maupun level kelompok atau masyarakat. Terjadi pada
level individu, apabila individu sebagai anggota masyarakat gagal dalam
menyesuaikan dirinya dengan situasi dan tuntutan perkembangan lingkungannya.
Kondisi pathologi terjadi pada level kelompok atau masyarakat apabila tidak ada
penyesuaian antar unsur dalam sistem sosial. Walaupun demikian, dalam kehidupan
bermasyarakat dapat terjadi hubungan saling mempengaruhi antara maladjusment pada level individu dengan maladjusment pada level kelompok atau
masyarakat.
Banyaknya
individu anggota kelompok yang mengalami maladjusment
dapat mendorong terjadinya kehidupan sosial yang kurang sehat. Sebaliknya iklim
kehidupan masyarakat yang cenderung mencerminkan kondisi social maladjusment sangat potensial
menumbuhkan kondisi serupa pada para anggota masyarakat.
b.
Perspektif
Disorganisasi Sosial
Soetomo
menjelaskan bahwa ada pandangan lain yang sebenarnya sama dengan pandangan
pathologis, dimana sistem sosial dianalogikan sebagai tubuh manusia, yaitu
perspektif disorganisasi sosial, namun, perspektif ini tidak melihat organisme
tersebut dalam kondisi, sehat atau sakit, melainkan lebih melihatnya sebagai struktur
dan fungsi yang organized dan disorganized atau integrated dan disintegrated.
Apa yang biasa disebut sistem adalah suatu struktur yang mengandung seperangkat
aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindak dan aktivitas.
Di dalam struktur tersebut terkandung unsur value,
status, position dan institution, (Parrillo, 1987:27). Menurut perspektif ini,
masyarakat menjadi organized disamping karena keserasian hubungan antar bagian
juga didukung oleh seperangkat pengharapan/ tujuan dan seperangkat aturan
(Julian, 1986 :13).[13]
Social organization ditandai oleh adanya hubungan yang
harmonis diantara elemen yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Elliot and
Merrill, 1961: 4). Hal yang sebaliknya dapat digunakan untuk mendefinisikan social disorganization, yaitu apabila
proses interaksi sosial dan fungsi yang efektif dari kelompok terpecah atau
dapat juga dikatakan proses terpecahnya hubungan antar kelompok dalam suatu
masyarakat.[14]
Namun, Soetomo
menegaskan bahwa konsep social
organization dan disorganization
merupakan konsep yang relatif, oleh karena tidak ada masyarakat yang organized
atau disorganized sepenuhnya. Sebagai konsep yang relatif, maka dapat dikatakan
bahwa ada perbandingan terbalik antara social
organization dan social diorganization.
Semakin tinggi kadar social
disorganization, berarti semakin rendah kadar social organization dalam suatu masyarakat; demikian pula
sebaliknya.[15]
Seperti halnya
dalam perspektif pathologis, dalam perspektif ini, analogi sistem sosial dalam
bentuk tubuh manusia mulai ditinggalkan atau di falsifikasi, yang difalsifikasi
adalah analogi tubuh manusia sementara pondasi pemikirannya masih berdasar
kepada fakta sosial adalah struktur sosial dan pranata sosial, sehingga masih
termasuk kepada teori struktural fungsional. Dalam pandangan barunya, penyebab
terjadinya masalah sosial adalah masyarakat lebih mudah berubah dan lebih lemah
dalam menghadapi elemen-elemen baru dan situasi konflik dibandingkan human
organic (Parrillo, 1987 : 27). Sehingga mengakibatkan pemahaman mengenai
masalah sosial dilakukan dalam konteks perubahan sistem dengan dasar asumis
bahwa kehidupan masyarakat bersifat dinamis dan senantiasa berkembang dan tidak
jarang berada pada situasi perubahan yang membingungkan. Manusia modem selalu
dituntut untuk menyesuaikan dengan situasi seperti ini. Individu, keluarga,
masyarakat, negara, dan masyarakat antar bangsa semuanya saling terkait dan
saling terlibat dalam berbagai tingkat dan variasi perubahan situasi. Dalam
kondisi semacam ini seringkali mengakibatkan adanya pola-pola baru, tingkah
laku baru dan kepercayaan baru yang belum sepenuhnya terbentuk sedang pola lama
sudah ditinggalkan, sehingga mengakibatkan hubungan antar kelompok mengalami
ketegangan. Apabila prosesnya sudah sampai pada suatu kondisi hubungan antar
kelompok yang terpecah (atau ekstrim-nya berantakan) maka terjadilah gejala
disorganisasi sosial (Elliot and Merrill, 1981: 3).[16]
Langkah lain
yang cukup penting dalam studi masalah sosial menurut perspektif disorganisasi
sosial ini adalah pengukuran (measurement). Pengukuran dimaksudkan untuk
melakukan identifikasi adanya gejala disorganisasi sosial termasuk melihat
kadar masalahnya. Salah satu cara pengukuran adalah dengan menggunakan nilai
social (social value), atas dasar
pertimbangan bahwa disorganisasi sosial tidak jarang menampakkan diri dalam
bentuk konflik nilai. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa nilai sosial sulit
diukur, akan tetapi usaha melakukan pengukuran dengan cara ini tetap
dilanjutkan.[17]
Menurut
perspektif ini, disorganisasi sosial terbentuk melalui suatu proses yang
berkaitan dengan berbagai fenomena sosial yang lain seperti struktur sosial,
perubahan sosial, nilai sosial dan krisis sosial. Pecahnya sistem dan
ketidakpastian nilai dapat mengakibatkan kontrol sosial menjadi lemah, sehingga
memberikan peluang pada individu untuk melakukan penyimpangan, individu
terombang-ambing diantara berbagai nilai dan peranan yang saling bertentangan,
dan masih banyak penjelasan yang lain.[18]
Berdasarkan pada asumsi bahwa sosial
disorganization tumbuh melalui proses sosial, maka sebetulnya upaya
treatment menurut perspektif ini tidak begitu relevan, oleh karena secara
alamiah masyarakat nantinya akan berproses kembali pada kondisi social organization. Dengan demikian
yang pelu ditangani adalah dampak atau efek dari kondisi disorganisai sosial
itu sendiri. Disamping itu penanganan masalah dapat berupa reestablisment of consensus melalui kompromi atau dengan jalan
suatu kelompok dengan kekuatan (power)
yang dimiliki mempercepat tampilnya keseimbangan baru yang diharapkan (Parrillo,
1987 : 29).[19]
c.
Perspektif
perilaku menyimpang
Soetomo
menjelaskan selain dari dua perspektif tersebut, ada perspektif lain yang
berbeda landasan pondasinya, yaitu perspektif perilaku menyimpang, dimana
perspektif ini melandasi asumsi kepada pranata sosial, yang juga merupakan
bagian dari sistem sosial sehingga masih tergolong kepada perspektif struktural
fungsional. Dalam perspektif ini, pranata sosial dianggap sebagai sesuatu
faktor yang ikut menegakkan keteraturan dan keseimbangan dalam sistem sosial,
yang berarti juga menegakkan eksistensi dari sistem itu sendiri. Semua kelompok
sosial membentuk aturan-aturan dan berusaha menegakkannya, bahkan dalam situasi
tertentu memaksakannya. Aturan-aturan sosial membatasi sikap tindakan manusia
sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga ada aturan yang melarang,
memerintahkan dan membolehkan (Soerjono Soekanto, 1988:1).[20]
Dalam
kedudukan yang demikian, aturan-aturan sosial ini akan berfungsi sebagai
pedoman bagi tingkah laku individu maupun kelompok dalam melakukan kehidupan
bermasyarakat termasuk dalam saling berinteraksi dengan sesamanya, agar dapat
terintegrasi kedalam sistem harus dapat berperilaku sesuai "aturan
permainan" yang berlaku. Oleh sebab itu, setiap anggota masyarakat perlu
memahami aturan permainan ini dan lebih lanjut menggunakannya sebagai pedoman
dalam segenap perilaku dan tindakannya. Pada dasarnya pemahaman ini diperoleh
melalui proses sosialisasi individu dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan
demikian, proses sosialisasi tidak lain adalah proses belajar untuk mempelajari
pranata sosial termasuk di dalamnya nilai dan norma sosial atau aturan-aturan
sosial. Adopsi terhadap nilai dan norma sosial tersebut dapat terjadi melalui
proses transfer dari satu pihak ke pihak yang lain termasuk dari generasi ke
generasi, serta dapat juga karena adanya unsur sanksi baik formal maupun
informal dari sementara aturan sosial tertentu yang dapat memaksa anggota
masyarakat untuk mematuhinya (Soetomo, 1995:28).
Dalam perspektif
ini, masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai
aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku
menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan
tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat
mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak
melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Oleh karena jalur yang harus
dilalui tersebut adalah jalur pranata sosial, maka wajar apabila pranata sosial
merupakan tolok ukur yang digunakan untuk melihat suatu perilaku menyimpang
atau tidak.[21]
Mengacu kepada
konsep tersebut, penulis menilai bahwa pada dasarnya perbuatan menyimpang atau
tidak menyimpang ditentukan kepada pranata sosial, sementara pranata sosial
antara suatu kelompok dengan kelompok lain berbeda, serta pranata tersebut akan
selal mengalami perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perubahan sosial, serta
struktur sosial di dalam masyarakat selain bersifat horizontal, juga bersifat vertikal
atau bertingkat. Dalam arti bisa saja, sebuah struktur sosial yang merupakan
sebuah bagian dari sebuah struktur sosial yang lebih tinggi, ternyata memiliki
pranata sosial tertentu yang berbeda dengan pranata sosial yang ada diatasnya. Apalagi
terhadap struktur sosial yang sederajat atau bersifat horisotal, sehingga
penulis menilai kategori menyimpang ini bersifat relatif dan perlu untuk sebuah
kepastian mengenai acuan yang digunakan dalam rangka mendefinisikan masalah
sosial dari perspektif ini.
2.
Menurut
Teori konflik.
Soetomo menyatakan bahwa perspektif
ini pada prinsipnya dibangun dengan atas dasar paradigma yang sama dengan teori
fungsional struktural yaitu paradigma fakta sosial. Walaupun demikian, pola
pikir teori ini bertentangan dengan teori fungsional struktural, termasuk
proposisi-proposisinya. Asumsi dasar dari Teori ini adalah wewenang dan posisi,
yang keduanya merupakan fakta sosial, sehingga menilai bahwa masyarakat
senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus diantara unsur-unsurnya, dimana setiap elemen memberikan
sumbangan terhadap disintegrasi sosial dan keteraturan
yang terdapat dalam masyarakat bukan
karena masyarakat menjadikan nilai-nilai/norma yang ada sebagai pedoman
melaikan karena adanya tekanan atau pemaksaan
kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa[22].
Distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi faktor
yang menentukan konflik sosial secara sistematik. Perbedaan wewenang merupakan
suatu tanda adanya berbagai posisi dalam berbagai masyarakat. Kekuasaan dan
wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap
struktur. Oleh karena wewenang itu saham maka setiap individu yang tidak tunduk
terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian, sebetulnya
masyarakat merupakan persekutuan yang terkoordinasi secara paksa. Lebih lanjut
dikatakan, bahwa dalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling
bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Masing-masing golongan
dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara subtansial.
Pertentangan tersebut terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa
berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha
untuk mengadakan perubahan-perubahan.[23]
a.
Perspektif
Konflik Nilai
Perspektif ini
mula-mula yang muncul berdasarkan Teori Konflik adalah persepktif Konflik
Nilai. Perspektif ini mengkritisi konsep pathologis / penyakit / sickness, mengingat konsep sickness yang
menganalogikan tubuh manusia sebagai gambaran masyarakat, dinilai terlalu
subyektif karena bersifat social
expectation, sehingga sulit untuk dijadikan referensi dalam memahami
masalah sosial[24]. Dalam rangka mendeskripsikan konsep ini. Soetomo menjelaskan bahwa berdasarkan pemikiran diatas, maka dapat dikatakan bahwa penyimpangan terhadap peraturan tidak selalu sama dengan kegagalan dari peraturan tersebut dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat yang berkembang semakin kompleks, dapat saja penyebab terjadinya penyimpangan peraturan tersebut karena si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda bahkan saling bertentangan. Dalam pola pikir semacam itu masalah sosial terjadi apabila dua kelompok atau lebih dengan nilai yang berbeda saling bertemu dan berkompetisi (Julian, 1986:13).[25]
Untuk
menjelaskan pengertian tersebut Julian mengambil contoh kasus tuan tanah dengan
petani penggarap. Tuan tanah menghendaki sewa tanah dinaikkan, sementara itu
petani penyewa mengharapkan sewa tanah yang rendah. Situasi semacam ini dapat
mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan oleh karena nilai dan
kepentingan berbeda. Konsekuensi lebih lanjut, dalam masyarakat dapat timbul
polarisasi. Masalah sosial mungkin tidak terjadi apabila pihak yang kuat
bersedia berkorban bagi yang lemah (terjadi kompromi). Sebaliknya, masalah
sosial akan timbul apabila yang kuat justru menggunakan kekuatannya untuk
membela kepentingannya. Dalam kenyataannya, situasi konflik tersebut dapat
berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading dan power. Dalam
hal hubungan tuan tanah dan petani penyewa yang dijadikan sebagai contoh kasus,
maka alternatif konsensus terjadi apabila tuan tanah dan petani penyewa sepakat
bahwa kenaikan sewa tanah dalam jumlah yang tidak terlalu besar masih dapat
dipahami bersama. Trading, apabila tuan tanah bersedia menekan kenaikan sewa
tanah dengan kompensasi tertentu. Power, apabila tuan tanah mengusir petani
penyewa yang tidak memenuhi tuntutan kenaikan sewa[26].
Mengacu kepada
konsep tersebut diatas, konflik kepentingan dipersepsikan oleh perspektif
konflik nilai merupakan bagian dari masalah sosial, karena di dalam suatu
kehidupan sosial didalamnya terdapat berbagai variasi nilai dan kepentingan[27],
sehingga konflik kepentingan termasuk masalah sosial, sekalipun konflik
kepentingan tersebut terjadi antar individu.
Berdasarkan
konsep Julian sebagaimana diutarakannya dalam konflik antara pemilik tanah dan
penyewa sebagaimana tersebut diatas, penulis menilai bahwa perspektif konflik
nilai menyatakan bahwa masalah sosial dapat saja terjadi dalam lingkup
interaksi antar individu, yaitu pada saat terjadi konflik terbuka, sehingga
eskalasi konflik yang lebih besar sudah tidak perlu dibahas lagi karena sudah
dapat dipastikan merupakan masalah sosial menurut perspektif konflik nilai.
Tentunya konsep ini dapat saja menjadi rancu apabila setiap konflik terbuka dinyatakan
sebagai masalah sosial karena ada beberapa konflik terbuka yang bukan merupakan
masalah sosial atau tidak menjadi masalah sosial, karena menurut teori konflik
dari perspektif ilmu komunikasi, konflik ditimbulkan oleh perbedaan cara
pandang, kepentingan dan resistensi perubahan, serta ada beberapa jenis
perilaku konflik, ada yang memilih untuk melakukan konflik terbuka dan ada juga
yang memilih untuk melakukan konflik secara tertutup, konflik tertutup tidak
berarti tidak terjadi konflik. Salah satu bentuk konflik adalah adanya
perbedaan pendapat diantara dua orang sahabat atau diantara suami-istri, namun
dalam rangka untuk menghindari akibat yang merusak terhadap sebuah hubungan,
maka salah satu pihak memutuskan untuk tidak melayani atau merespon terlalu
jauh atas penerimaan materi atau pokok-pokok pikiran yang bertentangan dengan
pemikirannya. Selain itu, banyak pihak yang menilai bahwa konflik yang terjadi
di dalam kehidupan rumah tangga, sekalipun yang bersifat terbuka bukan
merupakan masalah sosial, dalam arti ada kecenderungan dari masyarakat untuk tidak
terlibat lebih jauh dalam sebuah permasalahan yang terjadi di dalam suatu
keluarga. Sehingga penulis menilai bahwa pandangan mengenai konflik nilai ini
perlu mendapatkan pembatasan atau limitatif yang jelas, kapankan sebuah konflik
dinyatakan sebagai masalah sosial dan kapan konflik tersebut bukan dinyatakan
sebagai masalah sosial. Namun pendapat Julian terkait bagaimana ‘sikap yang
tepat’ dalam rangka menghadapi situasi yang dapat memicu ke arah konflik dapat
dijadikan pedoman oleh penulis dalam pembahasan selanjutnya.
Dengan adanya perspektif ini, yang mana lahir
karena mengkritisi perspektif panthologi sosial, penulis menilai bahwa
perspektif ini jugalah yang memicu adanya perspektif disorganisasi sosial,
dalam arti penganut aliran stuktural fungsional mengakui kebenaran pola pikir
dari perspektif konflik nilai namun tidak sepenuhnya sependapat dengan pola
pikir perspektif konflik nilai sehingga membangun sebuah pemahaman baru dengan
menggabungkan antara pola pikir stuktural fungsional dan pola pikir konflik
nilai, yang menghasilkan perspektif disorganisasi sosial.
b.
Perspektif
Institusional
Perspektif ini
melihat bahwa masalah sosial merupakan salah satu bentuk kondisi sosial. Dengan
demikian objek studi tentang masalah sosial adalah masyarakat itu sendiri. Hal
ini paling tidak dapat dijelaskan dari dua alasan: (1) masyarakatlah yang
menimbulkan suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya kerugian fisik dan mental
dalam berbagai bagian kehidupan sosial; (2) masyarakat yang menyebabkan adanya
tindakan dan kondisi yang melanggar norma dan nilai terjadi dalam lingkungan
masyarakat. Dengan demikian, basis dari unit analisa untuk memahami masalah
sosial adalah masyarakat khususnya struktur sosialnya[28].
Latar belakang
perspektif ini didasarkan kepada: (1) adanya suatu kenyataan bahwa warga
masyarakat pada umumnya, instansi kepolisian, pengadilan dan bahkan banyak ahli
ilmu sosial cenderung membuat interpretasi tentang masalah sosial dari sudut
perspektif individual. Dengan demikian dibutuhkan suatu imbangan karena menurut
realitanya masalah sosial juga dapat bersumber dari sistem; (2) pokok persoalan
ilmu sosial bukan terletak pada aspek individu melainkan masyarakat. Oleh
karena ahli ilmu sosial harus menitik beratkan pada determinan sosial dalam
rangka mengkaji suatu masalah, maka seharusnya melakukan pembahasan melalui analisis
yang kritis tentang struktur sosial; (3) tidak dapat diingkari bahwa kerangka
institusional dari suatu masyarakat adalah merupakan sumber masalah sosial
(masalah rasial, polusi, distribusi pelayanan kesehatan yang tidak merata,
kemiskinan, peperangan dan sebagainya)[29].
Soetomo
menilai latar belakang perspektif ini memiliki kerawanan yaitu, seringkali
dilupakan bahwa sistem hanya merupakan sebagian dari kebenaran untuk
menjelaskan masalah sosial. Hal ini disebabkan karena masalah sosial mengandung fenomena yang sangat kompleks yang di
dalamnya terkandung baik aspek individual maupun aspek sistematik. Kerawanan lainnya adalah apabila orang menggunakan Sosial/System Blame Approach ini secara dogmatis dalam menjelaskan masalah sosial. Pola pikir yang
demikian akan dapat menjurus pada anggapan yang kurang tepat; seolah-olah
individu hanya merupakan semacam robot yang sepenuhnya dikendalikan oleh
lingkungan sosialnya[30].
Alur pikir
dari perspektif ini mengenai masalah sosial adalah sebagai berikut: masyarakat
tersusun dalam suatu struktur dimana sebagian anggota masyarakat mempunyai
kekuatan (power) termasuk penguasaan resources, kesempatan dan peluang yang
lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian, lapisan
ini mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam sistem
sosialnya. Sebagai akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi
yang tidak merata antara lapisan yang lebih menguasai power, resources dan kesempatan, dibanding lapisan lain. Pada
umumnya lapisan yang menguasai power
dan resources ini cenderung ingin
mempertahankan status quo dalam
rangka mempertahankan posisi dan kepentingannya (Parrillo, 1987:29). Kondisi
semacam ini yang kemudian dapat menjadi sumber berbagai masalah sosial
(kejahatan, kemiskinan, penganggaran masalah daerah kumuh dan sebagainya)[31].
Sehubungan
dengan hal tersebut Eitzen (1986:10) mencoba menjelaskannya melalui Teori Human Basic Needs Abraham Maslow dant
Teori konflik Ralp Dahrendorf. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai dan
merasakan adanya beberapa kebutuhan dasar (shelter
and sustenance, security, group support, esteem, respect, and self
actualization). Dengan adanya berbagai kebutuhan tersebut, wajar apabila
setiap orang berusaha memenuhinya. Oleh karena dalam proses pemenuhannya juga
berkaitan dengan orang lain, maka pemenuhan kebutuhan dasar tersebut juga dapat
terjadi dalam proses hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat
dipahami apabila pemenuhan kebutuhan dasar tersebut juga akan berhadapan dengan
struktur masyarakatnya. Apabila struktur masyarakat berposisi seperti yang
digambarkan oleh Dahrendorf, maka dapat saja terjadi pemenuhan kebutuhan tadi
akan mendapatkan hambatan struktural terutama dari kenyataan adanya penguasaan power, resources dan kesempatan yang
tidak sama dan dari usaha lapisan tertentu yang lebih menguasai power, resorces dan kesempatan tersebut
dalam rangka mempertahankan status quo.
Dari keadaan
inilah masalah sosial dapat muncul baik berupa masalah yang disebabkan oleh
karena sebagian warga masyarakat gagal dalam memenuhi berbagai kebutuhan
dasarnya atau masalah yang disebabkan oleh karena sebagian warga masyarakat
menempuh cara di luar sistem dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Masalah yang
terakhir tersebut dapat terjadi karena dengan cara sesuai sistem, merasa tidak
mungkin akan dapat berhasil memenuhi kebutuhannya, disebabkan oleh berbagai
hambatan struktural seperti yang sudah disebutkan di depan[32].
Untuk lebih
menjelaskan pola pikir perspektif ini dapat dilakukan dengan mencoba
mengaplikasikannya dalam salah satu bentuk masalah sosial secara konkrit,
masalah kemiskinan misalnya. Menurut perspektif ini, masalah kemiskinan bukan
disebabkan karena adanya cacat individual dari kalangan miskin, seperti cacat
pembawaan, cacat fisik maupun mental, atau cacat kultural, melainkan disebabkan
oleh adanya institusional discrimination,
terutama dalam bentuk perbedaan penguasaan power,
resources dan peluang dalam struktur sosialnya. Kemiskinan semacam ini
bukan karena orang-orangnya lemah, malas atau karena kulturnya tidak mendorong
untuk bekerja keras melainkan karena kondisi struktural. Oleh sebab itulah,
kemudian sering disebut juga sebagai kemiskinan struktural. Dalam masyarakat
pedesaan dapat berupa pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak merata,
dominasi elite desa dalam proses pengambilan keputusan, penguasaan oleh lapisan
tertentu terhadap sektor dan peluang yang menguasai hajad hidup orang banyak,
dan sebagainya[33].
Masalah
tersebut oleh Julian (1986:205) dibahas dalam kaitan antara kemiskinan dan
kelas sosial (poverty and social class); oleh Parrillo (1987: 305)
dibahas dalam kaitan dengan kondisi struktur sosial yang ditandai oleh
ketimpangan dan konflik yang tak terelakkan, (inequality and inevitable conflict); yang kesemuanya itu identik
dengan pelacakan latar belakang masalah sosial dari sisi struktur sosial dan
institusi sosial. Hal yang kurang lebih sama, dapat juga digunakan untuk
memahami bentuk masalah sosial yang lain, misalnya kejahatan. Orang terdorong
pada tindak kejahatan atau kekerasan karena adanya distribusi penguasaan sumber
daya (resources) dan kesempatan yang
kurang baik dalam masyarakat. Situasi tersebut dapat menimbulkan kondisi stress
dan putus asa yang dapat mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan dan
kekerasan.
Berdasarkan
uraian diatas, pada prinsinya penulis sependapat dengan konsep mengenai penyebab
terjadinya masalah sosial, namun mengingat pembahasan masalah sosial tersebut
adalah permasalahan-permasalahan yang bersifat makro dimana sebagian besar orang
tidak akan memperdebatkan bahwa permasalahan yang bersifat makro tersebut
adalah masalah sosial, penulis menilai perspektif ini apabila dijadikan acuan
terhadap masalah-masalah yang bersifat mikro, kurang dapat memberi penjelasan
yang berarti, misalnya apakah seorang gadis, yang tinggal di lingkungan
masyarakat yang agamis, telah mengandung tanpa memiliki suami, sehingga
mengundang reaksi dari masyarakat di lingkungan tersebut, tentunya perspektif
ini akan sulit menjelaskan apakah permasalahan tersebut merupakan permasalahan
sosial ataukah bukan.
PENGERTIAN MASALAH SOSIAL, BATASAN-BATASANNYA SERTA KAPANKAH SUATU
MASSALAH DIANGGAP SEBAGAI MASALAH SOSIAL (BERDASARKAN INTI SARI DARI TEORI STRUKTURAL
FUNGSIONAL DAN TEORI KONFLIK).
Kedua teori struktural sosial dan teori konflik, pada
dasarnya menjadikan fakta sosial sebagai pondasi dalam mengembangkan teori
tersebut. Perbedaannya, dalam Teori Struktur sosial, fakta sosial terdiri dari
struktur sosial dan pranata sosial, namun dalam teori konflik, fakta sosial
dipersepsikan sebagai wewenang dan posisi. Walau demikian, Teori Konflik tetap
mengakui adanya struktur sosial, hanya saja diungkapkan dalam frasa “kelompok,
“pihak”, “generasi” dan sejenisnya.
Mengingat pengertian struktur sosial atau kelompok tidak
dijelaskan lebih lanjut oleh Soetomo serta penjelasan mengenai apa sebenarnya
pranata sosial dan bagaimana terbentuknya kurang kompeherensif informasi yang
diberikan, sehingga penulis akan menggunakan konsep mengenai struktur sosial
dan pranata sosial dari para ahli lain yang tidak termuat dalam Buku “Masalah
Sosial dan Pembangunan” milik Soetomo.
Maurice Hauriou menyatakan bahwa manusia sebagai mahluk
sosial pada dasarnya selalu memiliki ide untuk membentuk suatu perkumpulan
dengan berbagai tujuan, ide tersebutlah yang mengakibatkan terjadinya
struktur-struktur sosial di dalam masyarakat. Struktur tersebut
bertingkat-tingkat, mulai dari sebuah tingkat yang paling rendah, misalnya
keluarga hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti Negara. Tentunya struktur
sosial seperti perkumpulan masyarakat desa, kelompok buruh, pengusaha, profesi
pekerjaan dan lain, dipersepsikan oleh penulis termasuk diantara yang terendah
dan tertinggi tersebut. Penekanan Hauriou ada pada aktivitas dari masing-masing
sruktur tersebut, dimana pranata sosial (norma) tercipta dari konsep bagaimana
struktur sosial tersebut melakukan aktivitasnya. Dalam rangka melakukan
generalisasi, penulis akan menggunakan perspektif strukturaL fungsional yang
menyatakan bahwa tujuan dari pranata sosial adalah untuk menciptakan social order.
Terkait, mengapa struktur sosial terbentuk, penulis
menilai konsep dari Maurice Hauriou sudah cukup untuk menjelaskan mengapa
struktur sosial terbentuk. Namun mengenai penyebab pranata sosial terbentuk dan
hakikat keberadaan pranata sosial, penulis akan mencoba menggabungkan pemahaman
Maurice Hauriou dengan perspektif dari kedua teori diatas (struktural
fungsional dan konflik). Mengacu kepada Maurice Hauriou yang menyatakan bahwa
pranata sosial terbentuk dari konsep bagaimana seharusnya sebuah struktur
sosial melakukan aktivitasnya, penulis mempersepsikan konteks ‘konsep’ yang
diutarakan Hauriou adalah pengetahuan dari individu-individu yang ada dalam
sebuah struktur sosial tersebut, pengetahuan bagaimana sebuah struktur dapat
beraktivitas dengan baik sesuai dengan hakikat awal terbentuknya struktur
sosial tersebut. Mengingat bervariasinya tujuan awal terbentuknya sebuah
struktur sosial, maka penulis menilai bahwa pendapat dari perspektif struktural
fungsional yang menyatakan bahwa tujuan dari keberadaan pranata sosial pada
struktur sosial adalah untuk menciptakan social
order dalam struktur sosial tersebut,
karena: apa pun tujuan dan konsepsi keberadaan dari sebuah struktur sosial,
dalam melakukan aktivitasnya, setiap struktur sosial pasti menciptakan aturan
atau pranata sosial untuk menjaga dan memelihara ketertiban sosial di dalam
lingkungan struktur sosial tersebut.
Dengan demikian Konsep social order tersebut, penulis nilai dapat menjadi sebuah konsep
yang generalis dan dapat menjelaskan tujuan dari adanya pranata sosial pada
sebuah struktur sosial, dalam arti apa pun tujuan awal pembentukan struktur
sosial, yang sudah pasti beraneka ragam, tujuan utama dari keberadaan pranata
sosial di dalam sebuah struktur tentunya ditujukan untuk menciptakan
keteraturan sosial dalam struktur sosial tersebut. Mengingat perilaku sosial
dari elemen-elemen yang ada dalam masing-masing struktur sosial akan
mempengaruhi satu sama lain dimana pengaruh tersebut dapat berkembang ke arah
yang berbeda dari hakikat awal terbentuknya struktur sosial, maka pranata
sosial menjadi rambu utama dalam struktur sosial tersebut.
Pranata sosial tersebut akan memberikan rambu-rambu mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, yang mana rambu-rambu
tersebut terbentuk dari pengetahuan yang ada pada elemen-elemen struktur sosial
tersebut. Itulah sebabnya rambu-rambu yang ada pada suatu struktur sosial bisa
saja berbeda dengan rambu-rambu yang ada pada struktur sosial yang lain, hal
ini disebabkan adanya perbedaan pengetahuan dan cara pandang terkait tujuan
dari struktur sosial tersebut. Selain itu, perkembangan dinamika masyarakat
dengan berbagai kendala dan tantangannya akan melahirkan pengetahuan baru,
itulah juga sebabnya pranata sosial mengalami perubahan dari waktu ke waktu
sesuai dengan perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh elemen-elemen yang
ada dalam struktur sosial tersebut.
Penulis memiliki pertanyaan: “mengapa individu-individu
yang merupakan elemen-elemen dari sebuah struktur sosial, sangat reaktif
terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang yang dilakukan oleh salah satu
individu yang ada di dalam struktur sosial tersebut?”. Bukankah dalam sebuah
struktur sosial, banyak sekali terdapat individu (selain keluarga), dalam arti
aktivitas yang menyimpang dari satu individu saja, logikanya tidak akan
mempengaruhi aktivitas dari struktur sosial, namun mengapa seolah-olah
perbuatan yang menyimpang tersebut mengancam eksistensi dari sebuah struktur
sosial sehingga seluruh elemen dalam struktur sosial tersebut menjadi reaktif,
dalam perspektif perilaku menyimpang pada teori stuktural fungsional, perilaku
menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan
‘tegaknya’ sistem sosial.
Dalam rangka mendapatkan penjelasan tersebut, penulis
menggunakan Fixing Broken Window Theory,
yang mana pada konsepsinya menyatakan bahwa sebuah perilaku yang menyimpang
dapat menular kepada individu lain, sehingga setiap penyimpangan harus segera
diperbaiki dalam rangka untuk mencegah terjadinya penyebaran, sehingga dengan
demikian penulis menyimpulkan bahwa setiap individu di dalam sebuah sruktur
sosial memiliki kesadaran bahwa sebuah perilaku yang menyimpang dapat ‘menular’
kepada individu lain, itulah sebabnya elemen-elemen pembentuk struktur sosial
sangat reaktif terhadap penyimpangan karena merasa dapat mempengaruhi individu
yang lain dalam struktur sosial tersebut dan apabila dibiarkan ada kemungkinan
seluruh individu akan melakukan hal tersebut yang pada akhirnya akan merusak
sistem sosial yang ada, yang mana ukuran rusak dan dan tidaknya berdasarkan
dari tingkat pengetahuan elemen-elemen yang ada dalam struktur sosial tersebut.
Dengan demikian ‘kesadaran’ tersebut membuat setiap struktur
sosial tidak menginginkan adanya sebuah perilaku yang menyimpang di dalam
wilayahnya / kelompoknya / komunitasnya, karena keberadaan perilaku tersebut
dapat menjadi sebuah awal mula atau pemicu terjadinya sebuah pergeseran nilai
ke arah yang negatif yang pada nantinya akan membuat sebuah sistem sosial yang
terbentuk menjadi rusak atau tidak berfungsi dan mengakibatkan terjadinya
perubahan sistem sosial pada struktur sosial, dimana perubahan ini dianggap
tidak sesuai lagi dengan tujuan awal keberadaan struktur sosial tersebut.
Selain itu, dengan adanya perbedaan pengetahuan, maka
aktivitas sebuah struktur sosial akan berbeda-beda. Talcott Parsons menyatakan
masing-masing struktur sosial memiliki logika, mekanisme dan tujuannya sendiri
yang mana logika, mekanisme dan tujuan tersebut berbeda-beda. Itulah sebabnya dalam
proses verifikasi dan falsifikai, kedua teori diatas (struktural fungsional dan
konflik) pada akhirnya sependapat bahwa masyarakat lebih mudah berubah dan
lebih lemah dalam menghadapi elemen-elemen baru dan situasi konflik
dibandingkan human organic (Parrillo, 1987 : 27), sehingga mengakibatkan
pemahaman mengenai masalah sosial dikaitkan dalam konteks perubahan dengan
dasar asumsi bahwa kehidupan masyarakat bersifat dinamis dan senantiasa
berkembang dan tidak jarang berada pada situasi perubahan yang membingungkan.
Individu, keluarga, masyarakat, negara, dan masyarakat antar bangsa semuanya
saling terkait dan saling terlibat dalam berbagai tingkat dan variasi perubahan
situasi. Dalam kondisi semacam ini seringkali mengakibatkan adanya pola-pola
baru, tingkah laku baru dan kepercayaan baru yang belum sepenuhnya terbentuk
sedang pola lama sudah ditinggalkan, sehingga mengakibatkan hubungan antar
kelompok mengalami ketegangan. Dalam arti, setiap perkembangan pengetahuan akan
mempengaruhi logika, mekanisme dan tujuan dari masing-masing struktur sosial,
sehingga setiap struktur sosial dalam melakukan aktivitasnya menyimpan potensi
konflik dengan struktur sosial yang lain karena adanya perbedaan logika,
mekanisme dan tujuan.
Menurut pemahaman penulis, Teori struktural fungsional
dan Teori Konflik, pada dasarnya sepakat menyatakan bahwa pada mulanya seluruh
struktur sosial dan pranata sosial dalam keadaan stabil atau tidak saling
bersinggungan sama sekali. Perbedaan dari keduanya adalah teori struktural
fungsional kurang memperhitungkan mengenai perubahan dan potensi konflik,
sehingga mendapat falsifikasi dari Teori Konflik yang menyatakan bahwa
masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya
pertentangan yang terus menerus diantara unsurnya. Konteks ‘berada dalam proses
perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus menerus’, oleh penulis
dipersepsikan bahwa apabila tidak ada perubahan maka tidak ada pertentangan. Keberadaan
pertentangan di dalam kehidupan masyarakat, merupakan tanda adanya perubahan,
dengan demikian sebenarnya teori konflik sependapat dengan teori struktural
fungsional bahwa pada mulanya semua dalam keadaan seimbang tanpa ada
pertentangan. Hanya saja teori struktural fungsional menilai sebuah struktur
sosial cenderung bersifat dinamis dan seimbang (tidak cepat berubah), teori
konflik menyatakan bahwa perubahan dalam struktural sosial terjadi dengan
kecepatan yang signifikan sehingga mengakibatkan konflik. Apabila dikaitkan
dengan konsep Hauriou yang menjelaskan hakikat terbentuknya struktur sosial,
maka terjadinya komitmen dari masing-masing individu untuk menjadi sebuah
bagian dari sebuah struktur sosial menunjukkan bahwa pada mulanya tidak
terdapat konflik, kemudian saat beraktivitas, maka konflik tersebut ada, baik
konflik yang terjadi diantara elemen pada sebuah struktur sosial maupun konflik
saat aktivtasnya bersinggungan dengan struktur sosial yang lain.
Kedua teori juga pada akhirnya sama-sama menyetujui bahwa
individu yang menyimpang tidak berasal dari sang individu, melainkan berasal
dari lingkungannya, dalam arti justru masyarakatlah yang membuat seseorang
menyimpang, respon individu terhadap lingkungan yang memberikan sebuah
pengetahuan baru untuk dijadikan sebuah acuan dalam beraktivitas, mengakibatkan
individu tersebut melakukan tindakan yang dianggap menyimpang oleh sebuah
struktur sosial. Soetomo menegaskan bahwa persepsi menyimpang sangat relative,
dimana pada suatu kelompok sosial bisa saja, dianggap tidak menyimpang namun
bagi kelompok sosial yang lain tindakan tersebut dianggap menyimpang.
Penulis juga melihat bahwa struktur sosial tidak hanya
bersifat horisontal, dalam arti tidak semua struktur sosial dalam keadaan yang
setara / sejajar atau bersifat horisontal. Dalam keadaan setara / sejajar / horizontal,
kemungkinan yang terjadi saat masing-masing struktur sosial berinteraksi adalah
terjadinya peristiwa kooperatif (termasuk kompromi, konsensus dan trading), kompetitif dan konflik.
Penulis menilai bahwa struktur sosial juga bersifat vertikal atau bertingkat,
dalam arti sebuah struktur sosial bisa saja merupakan bagian dari sebuah
struktur sosial yang lain, misalnya desa, bagian dari struktur kabupaten,
kabupaten bagian dari struktur provinsi dan provinsi bagian dari struktur
Negara atau keluarga merupakan bagian dari desa. Dengan demikian bukan
merupakan hal yang tidak mungkin, sebuah pranata sosial dalam sebuah struktur
sosial yang lebih kecil juga bertentangan dengan pranata sosial dalam struktur
sosial yang lebih besar.
Berdasarkan pemahaman diatas, penulis sependapat dengan
pola pikir teori konflik, yaitu masyarakat tersusun dalam suatu struktur dimana
sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuatan (power) termasuk penguasaan resources,
kesempatan dan peluang yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang
lain. Dengan demikian, lapisan ini mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan
sosial ekonomi dalam sistem sosialnya. Sebagai akibat lebih lanjut adalah
adanya ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara lapisan yang lebih
menguasai power, resources dan
kesempatan, dibanding lapisan lain. Pada umumnya lapisan yang menguasai power dan resources ini cenderung ingin mempertahankan status quo dalam rangka mempertahankan posisi dan kepentingannya
(Parrillo, 1987:29). Kondisi semacam ini yang kemudian dapat menjadi sumber
berbagai masalah sosial (kejahatan, kemiskinan, penganggaran masalah daerah
kumuh dan sebagainya)[34].
Masalah yang disebabkan oleh karena sebagian warga
masyarakat gagal dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya atau masalah yang
disebabkan oleh karena sebagian warga masyarakat menempuh cara di luar sistem
dalam rangka memenuhi kebutuhannya, dapat terjadi karena warga masyarakat
berpikir bahwa dengan melakukan aktivitas sesuai dengan sistem yang ada, yang
bersangkutan merasa tidak mungkin akan dapat berhasil memenuhi kebutuhannya,
disebabkan oleh berbagai hambatan struktural seperti yang sudah disebutkan di
depan[35].
Berdasarkan seluruh konsep diatas, maka disimpulkan bahwa
masalah sosial berasal dari beberapa sumber yang tidak bisa di generalisasi.
Dalam struktur sosial yang kecil, seperti keluarga atau masyarakat desa biasa,
masalah sosial bersumber dari perilaku yang menyimpang terhadap suatu pranata
sosial, kapankah sebuah perilaku dianggap sebagai sebuah masalah menyimpang,
yaitu pada saat perilaku tersebut dianggap melanggar nilai-nilai (value) yang ada di dalam suatu struktur
sosial, sehingga ukurannya adalah nilai atau value. Tentunya dalam mempersepsikan kesimpulan tersebut tidak bisa
menggeneralisir, mengingat nilai sangat erat dengan konteksnya penegetahuan,
dimana pengetahuan sangat dibatasi ruang dan waktu. Demikian juga dengan nilai
atau value, karena dilandasi oleh
pengetahuan, maka nilai atau value
juga terikat oleh ruang dan waktu. Sehingga konsepsi pengukuran sebuah
perbuatan harus juga dikaitkan kepada konteks “nilai atau value pada struktur sosial yang mana” dan “kapan perbuatan tersebut
dilakukan”. Dalam konteks struktur sosial yang bersifat setara, sejajar atau
horizontal, tentunya konsep pengukuran apakah suatu peristiwa sosial dikatakan
menyimpang atau tidak, harus diukur berdasarkan nilai atau value yang ada pada suatu struktur sosial dimana peristiwa sosial
tersebut terjadi dan kapan peristiwa sosial tersebut dilakukan. Sehingga dengan demikian ada batasan yang
jelas mengenai kapankah sebuah masalah sosial terjadi dan pada saat
bagaimanakah sebuah peristiwa sosial dianggap sebagai masalah sosial, yaitu
pada saat peristiwa sosial tersebut melanggar nilai atau value yang ada pada suatu struktur sosial pada saat (waktu) peristiwa
tersebut terjadi. Penggunaan terminologi peristiwa sosial digunakan oleh
penulis, karena cakupan peristiwa sosial lebih luas, tidak dibatasi oleh sebuah
perbuatan individu namun dapat juga mencakup perbuatan kolektif, dimana
perbuatan yang dimaksud tidak terbahtas hanya kepada perbuatan yang dilandasi
oleh motif nilai melainkan juga dapat mencakup motif kepentingan.
Konteks ini tentunya berbeda dalam konteks struktur
sosial yang bertingkat, karena dalam sebuah struktur sosial yang bertingkat,
sebuah peristiwa sosial dapat saja dianggap melanggar nilai atau value yang ada pada sebuah struktur
sosial yang lebih rendah tingkat sosialnya, namun dapat saja dianggap tidak
melanggar oleh struktur sosial yang lebih tinggi tingkat sosialnya, atau
sebaliknya. Adanya kompleksitas tersebut mengakibatkan konteks masalah sosial
dalam konteks struktur horizontal, tidak bisa digunakan dalam konteks ini.
Dalam konteks hubungan struktur sosial yang bertingkat atau vertikal, tentunya
harus benar-benar mempertimbangkan faktor ruang, yaitu pemilihan nilai atau value pada struktur sosial yang mana
yang harus digunakan sebagai acuan. Apakah nilai atau value pada struktur sosial yang lebih rendah atau pada struktur
sosial yang lebih tinggi atau sebaliknya. Hal ini dapat saja terjadi karena
struktur sosial yang lebih rendah tersebut cenderung merupakan sebuah bagian
dari struktur sosial yang lebih tinggi. Apabila permasalahan ini terjadi,
penulis menilai nilai atau value yang
digunakan adalah nilai atau value
dimana peristiwa tersebut dianggap sebagai sebuah permasalahan pada suatu
struktur sosial, tanpa melihat tingkatan struktur sosial tersebut. Dalam arti
apabila sebuah peristiwa sosial dianggap melanggar nilai atau value dari struktur sosial yang lebih
rendah tingkat sosialnya, sementara pada struktur sosial yang lebih tinggi
tingkat sosialnya menyatakan perbuatan tersebut bukan merupakan sebuah
penyimpangan, maka penilaian apakah peristiwa sosial tersebut menyimpang atau
tidak, digunakan nilai atau value
yang ada pada struktur sosial yang lebih rendah tingkat sosialnya dimana
peristiwa sosial tersebut terjadi dan pada saat peristiwa sosial tersebut
terjadi. Demikian juga sebaliknya, apabila sebuah peristiwa sosial dianggap
bukan merupakan penyimpangan pada sebuah struktur sosial yang lebih rendah
tingkat sosialnya, namun dianggap menyimpang oleh struktur sosial yang lebih
tinggi tingkat sosialnya maka ukuran yang dipakai adalah nilai atau value yang ada pada struktur sosial yang
lebih tinngi tingkatan sosialnya tersebut.
Pandangan penulis apa yang penulis sampaikan mengenai
value sebagai ukuran dalam menilai apakah sebuah peristiwa sosial merupakan
masalah sosial dalam konteks hubungan antara seorang individu dengan sebuah
struktur sosial dan struktur sosial yang lebih tinggi derajatnya / tingkatannya
tidak bertentangan atau sejalan dengan teori konflik, karena setiap struktur
sosial memiliki power untuk
menegakkan pranata sosialnya, apabila sebuah perilaku atau aktivitas tidak
melanggar sebuah pranata sosial manapun, baik struktur sosial yang lebih rendah
tingkatannya maupun struktur sosial yang lebih tinggi tingkatannya, maka power tersebut tidak akan diaktifkan
oleh kedua struktur sosial tersebut. Namun apabila terjadi pelanggaran atas value / pranata sosial yang ada pada
salah satu struktur sosial, maka hanya struktur sosial yang merasa pranata
sosialnya telah dilanggarlah yang akan mengaktifkan power yang ada padanya tersebut, sehingga value pada sebuah struktur sosial-lah yang dapat menjadi acuan
dalam menentukan kapankah sebuah peristiwa sosial menjadi sebuah permasalahan
sosial.
Disini tentunya penulis menekankan tidak semua peristiwa
sosial (walaupun dianggap sebagai sebuah masalah), dapat dengan serta merta dianggap
melanggar nilai atau value yang ada
pada masyarakat. Misalnya dalam Teori konflik yang mempersepsikan semua bentuk
konflik terbuka adalah permasalahan sosial, walaupun konflik terbuka tersebut
terjadi hanya sebatas pada lingkup interaksi antar individu. Penulis menekankan
bahwa konsep tersebut bertentangan dengan konsep penulis yang kebetulan sejalan
dengan perspektif struktural fungsional, karena beberapa konflik pribadi yang
terbuka tidak semuanya dianggap melanggar nilai atau value yang ada di masyarakat, misalnya konflik dalam rumah tangga.
Lain halnya apabila konflik terbuka tersebut terjadi dalam bentuk perkelahian
antar individu, tentunya pada sebuah struktur sosial tertentu, pertikaian
tersebut dianggap merupakan masalah pribadi yang harus diselesaikan oleh
masing-masing individu yang terlibat dalam pertikain tersebut sehingga
elemen-elemen yang ada dalam struktur sosial tersebut cenderung membiarkan
pertikaian tersebut, namun dalam struktur sosial yang lain, pertikaian tersebut
bertentangan dengan nilai dan value
yang ada pada struktur sosialnya, sehingga masyarakat pada struktur sosial
tersebut menilai diperlukannya campur tangan dari seluruh elemen struktur
sosial yang ada agar tidak ada perkembangan dari pertikaian tersebut yang dapat
mengancam kestabilan sosial pada struktur tersebut. Selain itu, tidak semua
masalah sosial berbentuk konflik, dapat saja berbentuk permasalahan sosial yang
lain, misalnya dalam sebuah struktur sosial yang agamis, seorang anak perempuan
yang mengandung tanpa suami, tentunya akan menjadi sebuah masalah sosial di
struktur sosial tersebut. Sehingga ukuran nilai atau value yang ada pada suatu struktur sosial pada saat sebuah
peristiwa sosial terjadi, penulis anggap hal tersebut merupakan sebuah ukuran
yang sangat kompeherensif untuk menentukan apakah sebuah peristiwa sosial
merupakan masalah sosial ataukah bukan.
Selain itu dalam konteks struktur sosial yang lebih luas,
seperti Negara. Teori Konflik perspektif institusional menyatakan bahwa masalah
sosial terjadi berasal dari struktur sosial, yaitu pada saat ada individu tidak
bisa memenuhi kebutuhan yang ada melalui sistem yang ada, dimana sistem yang
ada tersebut bersifat diskriminatif akibat tidak adanya peluang yang sama dalam
rangka mengakses power, resources dan
kesempatan sehingga mengakibatkan akan mengakibatkan sebagian warga masyarakat
merasa gagal dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya sehingga memaksa
sebagian warga masyarakat tersebut untuk menempuh cara di luar sistem dalam
rangka memenuhi kebutuhannya. Masalah yang terakhir tersebut terjadi karena
masyarakat merasa sudah tidak ada lagi kesempatan untuk berhasil apabila
menempuh cara-cara yang sesuai sistem, maka pada saat itulah masalah sosial
terjadi. Walaupun Teori Konflik menyatakan bahwa tolak ukurnya adalah sistem
akses dan distribusi terhadap power,
resources dan kesempatan yang ada pada struktur sosial yang paling tinggi.
Namun penulis, menilai bahwa konsep penulis dapat digunakan dalam masalah
tersebut. Kalau diibaratkan struktur sosial tersebut berbentuk kerajaan dengan
pasukan yang kuat membuat aturan yang sangat disktiminatif, sehingga
orang-orang tertentu saja yang dapat memperoleh akses terhadap power dan resources, yang artinya sebagian besar orang yang ada dalam
kerajaan tersebut tidak bisa mendapatkan power
dan resources tersebut. Maka menurut
penilaian penulis, pada saat itu, tanpa disadari akan terbentuk sebuah struktur
sosial baru dan pranata sosial baru dimana warga kerajaan tersebut akan
menganggap bahwa pranata sosial yang telah ditetapkan oleh sang penguasa tidak
perlu dipatuhi, sehingga akan terjadi perbuatan-perbuatan menyimpang, misalnya
mencuri untuk makan diperkenankan. Tentunya akan menjadi permasalahan apabila
pencurian tersebut dilakukan terhadap sesama kaum lemah, maka masyarakat
tersebut tetap akan menganggap pencurian tersebut sebagai penyimpangan yang
mana penguasa serta warga masyarakat yang lain akan menghakimi si pelaku. Lain
halnya apabila pencurian tersebut dilakukan terhadap penguasa, maka masyarakat
tidak akan ikut menghakimi sang pencuri karena menganggapnya bukan sebuah
penyimpangan hanya sang penguasalah yang akan menghakimi sang pencuri. Apabila
masyarakat memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat menghindarkan sang pencuri
dari bayang-bayang hukuman sang penguasa, maka kemungkinan besar masyarakat
akan melakukan hal tersebut dan apabila masyarakat menilai mereka memiliki
kemampuan yang cukup (power) untuk melawan sang penguasa maka kemungkinan warga
masyarakat akan melawan dan menghukum sang penguasa dan kemudian menciptakan
pranata sosial baru. Namun bila tidak, maka masyarakat hanya akan diam dan
bersimpati menyaksikan sang pencuri dihukum sang penguasa. Apa pun situasinya,
penulis menilai bahwa value yang ada pada pranata sosial tetap dapat digunakan
walaupun dalam situasi perspektif konflik institusional.
Dengan demikian, penulis mendefinisikan masalah sosial
adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seorang individu / sekelompok
individu pada suatu tempat dan waktu, yang mana aktivitas tersebut dianggap
melanggar value yang ada dalam pranata
sosial oleh sebuah struktur sosial atau lebih yang ada pada lokasi dan waktu
tersebut (Bram, 2015).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah
cara mengatasinya? Dan bagaimanakah selayaknya otoritas Negara melakukan
pengendalian masalah sosial?
Walaupun Teori Konflik Perspektif Institusional
menyatakan bahwa untuk masalah sosial yang berasal dari struktur sosial,
sehingga treatmentnya disarankan dengan melakukan perubahan struktur sosial.
Sayangnya, penjelasan mengenai perubahan struktur sosial ini tidak dijelaskan
lebih lanjut sehingga penulis mencoba untuk membuat sebuah penjelasan
tersendiri. Kemudian terkait masalah sosial yang tidak berasal dari masalah
penyimpangan terhadap nilai atau value
yang sebagian besar berasal dari teori struktural fungsional, banyak sekali
treatment yang direkomendasikan yang semua bergantung kepada perspektif yang
ada pada masing-masing aliran yang memandang bagaimana masalah sosial tersebut
terjadi. Dengan demikian penulis mencoba menguraikan berbagai treatment yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah sosial tersebut.
Eugen Erlich, salah satu ahli hukum yang mencoba mengkaji
hukum dari sudut pandang ilmu sosial, memperkenalkan konsep sociological jurisprudence dengan
istilah the living law, yang berarti hukum
yang hidup dan berkembang di masyarakat. Sebagian besar ahli hukum menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan istilah the
living law adalah hukum tidak tertulis yang memang kenyataannya benar-benar
ada di masyarakat. Namun penulis tidak menilai demikian, yang dimaksud dengan
the living law tersebut adalah pemahaman masyarakat terkait hukum, baik yang
tertulis yang dikeluarkan oleh Negara dan hukum tidak tertulis yang ada di
dalam kehidupan masyarakat. Keseluruhan hukum tersebut berkolaborasi dan
bersinergi di dalam logika masyarakat dan menjadi acuan bagi masyarakat dalam
beraktivitas. Konsep The Living law
ini dapat dijadikan acuan oleh Negara, bahwa Negara harus menggunakan kekuatan
yang ada padanya untuk membuat sebuah aturan yang diterapkan kepada setiap
lapisan masyarakat dan berlaku sama terhadap semua struktur yang ada, dimana
aturan-aturan ini bersifat universal dan ditujukan untuk kebaikan semua
struktur sosial yang ada di dalam Negara tersebut. Penerapan aturan tersebut
dimaksudkan untuk mempengaruhi pranata-pranata sosial yang ada agar
pranata-pranata sosial tersebut mengintergrasikan aturan tersebut ke dalam
pranata sosialnya. Sehingga, tidak terjadi sebuah pranata sosial yang dianggap
sebagai pedoman hidup oleh suatu struktur sosial, sementara pranata sosial
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan, misalnya keberadaan kampung
Ambon di Jakarta yang menilai bahwa berdagang narkotika adalah sesuatu yang
wajar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai atau value yang ada di kampung Ambon.
Selain itu Negara harus memahami bagaimana mekanisme
penyelesaian masalah yang ada di masyarakat, dimana masyarakat menilai bahwa
ruang lingkup hukum tertulis kurang luas dalam arti hukum tertulis tidak dapat
mencapai semua aspek kehidupan di masyarakat, maka masyarakat menjadi terbiasa
tidak menggunakan hukum tertulis sebagai acuan untuk mengukur sebuah
permasalahan sosial dan dalam melakukan penyelesaiannya. Namun penyelesaian berbagai
masalah sosial di dalam masyarakat, selalu diselesaikan dengan menggunakan pranata
sosial atau the living law, dengan
demikian komposisi penggunaan hukum tertulis tidak terlalu besar porsinya,
misalnya bagaimana reaksi masyarakat yang ada di dalam struktur sosial yang
agamis menyelesaikan permasalahan terkait seorang perempuan yang mengandung
tanpa memiliki suami, dalam hukum tertulis yang dikeluarkan Negara kita: Indonesia,
perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang menyimpang namun masyarakat
agamis yang ada pada struktur sosial tersebut menilai bahwa perilaku tersebut
merupakan perilaku menyimpang, sehingga harus memberikan sanksi kepada
perempuan tersebut agar tidak dikuti oleh anggota masyarakat yang lain, namun karena
Negara kita menyatakan bahwa membunuh atau menganiaya orang lain merupakan sebuah
pelanggaran pidana, maka mayoritas sanksi yang diberikan terhadap permasalahan tersebut
adalah dicemooh, dikucilkan atau diusir dari lingkungan masyarakat tersebut
(sanksi sosial sesuai pranata sosial yang ada). Dalam arti penerbitan hukum pidana
oleh Negara kita telah terintegrasi dengan baik ke dalam pranata-pranata sosial
yang ada di dalam masyarakat.
Penyelesaian masalah-masalah sosial yang mengacu kepada
pranata sosial yang ada, harus disadari oleh Negara dan dihormati keberadaannya
oleh Negara. Walaupun Negara secara hukum nasional tidak bisa menyatakan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan menyimpang bukan berarti Negara
melindungi perbuatan tersebut. Walaupun demikian, Negara harus menerbitkan berbagai
aturan yang berdampak terhadap penerapan sanksi-sanksi sosial oleh masyarakat agar
lebih humanis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, sehingga tidak ditemukan
tindakan penghukuman oleh masyarakat yang melampaui batas-batas kemanusiaan, seperti
merajam, membakar, dsb.
Dalam rangka mewujudkan tersebut, selain menerbitkan berbagai
aturan dengan tujuan mengintegrasikan aturan Negara ke dalam pranata-pranata sosial
yang ada di masyarakat, Negara harus menunjuk salah satu organnya untuk ikut
serta menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat, terutama
yang berkaitan dengan nilai atau value
yang ada pada tiap-tiap struktur sosial yang ada, penunjukkan tersebut
dimaksudkan agar Negara memiliki kemampuan untuk mencegah agar pemberian sanksi
yang dilakukan oleh masyarakat tidak melanggar hukum nasional yang telah
disusun berdasarkan nilai-nilai yang bersifat universal tersebut.
Sebagaimana
disampaikan oleh penulis, dari contoh mengenai masalah sosial berupa seorang
perempuan yang mengandung tanpa memiliki suami adalah salah satu bentuk dan
cerminan bahwa hukum tertulis belum bisa mencapai keseluruhan aspek kehidupan masyarakat,
sehingga kekosongan hukum tersebut mengakibatkan masyarakat membuat berbagai
pranata sosial dalam rangka dijadikan pedoman atau rambu-rambu dalam melakukan
aktivitasnya. Maka dengan mengacu kepada konsep bahwa hukum tertulis sangat
terbatas jangkauannya, adalah hal wajar apabila di dalam kehidupan masyarakat terdapat
fenomena berupa kebiasaan untuk menggunakan hukum-hukum tidak tertulis dalam
rangka menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Kebiasaan ini mengakibatkan
nilai hukum tertulis bagi masyarakat kurang terlalu memiliki faedah, sehingga
menjadi sebuah aktivitas yang rutin apabila berbagai permasalahan sosial di
masyarakat diselesaikan dengan pranata sosial. Sehingga kebiasaan tersebut menjadi
sebuah pranata sosial baru (routine activity theory), bahwa penyelesaian
masalah sosial dilakukan melalui lembaga sosial yang ada di masyarakat. Sehingga
menjadi sesuatu yang wajar apabila dalam konteks masalah sosial tersebut melanggar
hukum nasional, masyarakat menginginkan penyelesaiannya dilakukan dengan cara-cara
yang biasa dilakukan masyarakat, misalnya memberikan ganti rugi, berdamai atau saling
memaafkan.
Perbedaan pola-pola penyelesaian atas sebuah permasalahan
sosial ini, ternyata menjadi permasalahan tersendiri, sehingga perlu dikaji lebih
dalam dan luas mengenai bagaimana seharusnya Negara menyelesaikan hal tersebut.
To be Continue……
Jakarta 7 Desember 2015
[1]
Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Pustaka Jaya, 1995), h.14
[2]
Ritzer, George, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Judul Asli:
Sociology A Multiple Paradigm Science), Boston: Allyn and Bacon, 1980, hlm. 110
[3]
Soetomo, Op.Cit, p.15
[4]
Ibid, p.16
[5]
Ibid, p.17
[6]
Ibid, p.18
[7]
Ibid, p.18
[8]
Ibid, p.18
[9]
Ibid, p.18-19
[10]
Ibid, p.19
[11]
Ibid, p.20
[12]
Ibid, p.20
[13]
Ibid, p.22
[14]
Ibid, p.22
[15]
Ibid, p.22-23
[16]
Ibid, p.23
[17]
Ibid, p.24
[18]
Ibid, p.25-27
[19]
Ibid, p.27
[20]
Ibid, p.27
[21]
Ibid, p.28-29
[22]
Ibid, p.32-33
[23]
Ibid, p.33
[24]
Ibid, p.36
[25]
Ibid, p.36
[26]
Ibid, p.36-37
[27]
Ibid, p.40
[28]
Ibid, p.41
[29]
Ibid, p.42
[30]
Ibid, p.42-43
[31]
Ibid, p.43
[32]
Ibid, p.43-44
[33]
Ibid, p.44-45
[34]
Ibid, p.43
[35]
Ibid, p.43-44
One response to “Pengertian Masalah Sosial (Kajian berdasarkan Teori Struktur Fungsional dan Teori Konflik)”
sebuah artikel yang bagus dan sangat menarik pembahasannya, keren kak.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat toko online yukk disini saja. terimakasih
Posting Komentar