BENTUK IDEAL
SURAT PEMBERITAHUAN PERKEMBANGAN HASIL PENYIDIKAN
(SP2HP)
Karya tulis ini dibuat untuk mengilhami jajaran Kepolisian Republik Indonesia agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dapat mewujudkan sosok Polri yang dicintai masyarakat serta dipercaya sebagai Problem Solver yang utama.
Oleh
AKP WAHYU ISTANTO BRAM WIDARSO, SH, S.Ik
Tahukah anda, bahwa Sistem Peradilan Pidana yang sering dikenal dengan istilah Criminal Justice System (CJS) yang dianut oleh Indonesia, bahkan seluruh dunia, telah menyimpang dari tujuan awal pembentukannya? CJS dibentuk dengan konsepsi untuk memberikan rasa keadilan, menciptakan kepastian hukum dan melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan. Seorang peneliti yang bernama Andrew Asworth (1993) menyatakan bahwa CJS yang ada ternyata telah mengabaikan korban kejahatan, dengan berdasarkan pendapat oleh McDonald (1976)[1] Asworth mengemukakan beberapa hal mengenai pengabaian CJS terhadap hak-hak korban kejahatan.
Hak-hak korban kejahatan yang telah diabaikan tersebut adalah:
1. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian dari tersangka.
2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian dari negara bila menjadi korban kejahatan.
3. Hak untuk mendapatkan informasi terhadap perkembangan penanganan kasus yang dialaminya.
4. Hak untuk mendapatkan bantuan dari psikolog. (terutama pada korban perkosaan)
5. Hak untuk mendapat perlakuan hormat dan simpatik dari aparat penegak hukum saat penyidikan.
6. Hak untuk mendapat perlakuan hormat dan simpatik dari aparat penegak hukum saat proses persidangan.
7. Hak untuk memberikan masukan/ saran dalam pembuatan keputusan kepada aparat penegak hukum bila akan menghentikan penyidikan, melakukan penangguhan penahanan, pengabulan pengajuan pembebasan bersyarat, dan berbagai keputusan lain yang bersifat meringankan efek hukum terhadap pelaku kejahatan.
Materi mengenai perlunya perlindungan terhadap hak-hak korban kejahatan telah ada dan berkembang di dalam dunia akademis sejak dahulu, namun baru belakangan ini (abad 21), mulai diperhatikan dan diterapkan dalam Criminal Justice System termasuk CJS di Indonesia.
Walau belum seluruh komponen CJS di Indonesia yang mencoba untuk memperhatikan hak-hak korban, tetapi Polri telah berupaya untuk memperhatikan hak-hak korban dengan cara memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) sejak tahun 2006 yang kemudian lebih diintensifkan pelaksanaannya dalam sebuah program yang bersifat internal dengan nama Quick Wins di tahun 2009. Perbedaan bentuk SP2HP sebelum dan sesudah dilaksanakannya program Quick Wins adalah adanya penekanan waktu pemberian SP2HP.
Dengan dimuatnya SP2HP sebagai salah satu program Quick Wins, maka hampir pada setiap tahapan kegiatan penyidikan, korban kejahatan bisa dipastikan mendapatkan informasi mengenai perkembangan penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik Polri dan hal tersebut wajib hukumnya dilakukan oleh penyidik Polri.
Kebijakan yang sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan pelaksanaan SP2HP pada tahun 1996 dimana pelaksanaan SP2HP seakan-akan tidak menjadi sebuah kewajiban karena masih banyak kesatuan Polri di daerah yang belum melaksanakan pemberian SP2HP kepada korban kejahatan. Selain itu, format atau bentuk SP2HP yang diberikan hanya bersifat pemberitahuan kepada korban kejahatan mengenai identitas penyidik yang menangani.
Walau pelaksanaan SP2HP yang dilakukan oleh Polri dalam Program Quick Wins telah mengalami kemajuan, namun apa yang dilakukan oleh Polri belum mampu memuaskan korban kejahatan karena banyak pertanyaan-pertanyaan dari korban kejahatan terhadap tindakan yang dilakukan oleh penyidik Polri yang sifatnya ‘meringankan beban’ pelaku kejahatan terhadap pelaksanaan proses hukum yang dialaminya seperti keputusan penangguhan penahanan atau penghentian penyidikan.
Selain itu, korban kejahatan dalam proses penanganan perkara yang dilakukan oleh penyidik Polri bila berkomunikasi dengan penyidik Polri dalam rangka mendapatkan keadilan maupun hak-haknya (misalnya ganti kerugian dari tersangka), korban kejahatan seakan-akan selalu dihadapkan kepada pilihan yang pahit, yaitu mendapatkan ganti kerugian dari tersangka atau memproses pidana pelaku kejahatan dengan konsekuensi tidak mendapatkan ganti kerugian dari tersangka (apalagi pemerintah). Walau tidak bisa disangkal juga bahwa tidak sedikit juga korban kejahatan yang menginginkan, adanya pemberian penghukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku kejahatan karena akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tidak dapat diperbaiki, misalnya kasus perkosaan atau kasus-kasus yang terkait dengan masa depan dari korban kejahatan. Pada kondisi ini, seorang korban kejahatan akan memprioritaskan CJS terutama Polri untuk mewakilinya menuntut keadilan.
Keberadaan PILIHAN tersebut menimbulkan keengganan bagi korban kejahatan untuk memprioritaskan Polri sebagai Problem Solver terhadap permasalahan yang dialaminya.
Mengapa?
Pada dasarnya korban kejahatan menginginkan dirinya tidak mengalami kejahatan dan bila ‘musibah’ tersebut terjadi, korban kejahatan cenderung menginginkan adanya sebuah bentuk ganti kerugian dari tersangka untuk memulihkan kondisinya seperti sebelum dirinya mengalami kejahatan, konsepsi ini dikenal dengan nama Restorative Justice.
Sehingga korban kejahatan akan berupaya mengandalkan kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya untuk mendapatkan ganti kerugian dari tersangka guna memulihkan situasi yang dideritanya. Bila semua upaya telah ditempuh dan ternyata menemui jalan buntu maka kemudian masyarakat meminta Polri untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapinya, bisa dikatakan bahwa saat ini masyarakat memposisikan Polri sebagai opsi terakhir untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Sebuah kenyataan yang menyedihkan bagi penulis yang juga merupakan anggota kepolisian.
Dikaitkan dengan misi dan visi Polri yang bermimpi untuk menjadi Problem Solver bagi masyarakat, nampaknya ada sebuah permasalahan yang sulit dicapai bila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus.
Walau demikian, ini juga dipengaruhi oleh kenyataan bahwa Institusi Polri tidak diberi kewenangan oleh negara untuk mengakomodir keinginan dari pada korban kejahatan untuk memberikan fasilitas tuntutan ganti kerugian, hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di Indonesia saat terjadi penulisan ini (26 Agustus 2009).
Fakta menunjukkan bahwa sebenarnya negara sudah memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan ganti kerugian dari pihak tersangka, yang menurut sepengetahuan penulis dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui gugatan perdata sebagaimana diatur dalam KUHPerdata dan fasilitas vonis hakim yang memuat putusan penjatuhan hukuman pidana dan ganti kerugian kepada korban pada saat yang bersamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 s.d Pasal 101 KUHAP.
Gugatan perdata dalam rangka untuk menuntut ganti kerugian merupakan salah satu cara yang familiar di masyarakat, namun cara ini memiliki beberapa kendala yang menyebabkan keengganan bagi korban kejahatan untuk melakukan gugatan perdata, yaitu memakan waktu yang tidak bisa dikatakan singkat (apalagi bila terjadi banding atau kasasi) dan juga memakan biaya yang tidak sedikit karena setidaknya korban kejahatan harus mengeluarkan biaya untuk menyewa advokat guna mewakilinya di dalam persidangan, mengingat sangat jarang korban kejahatan yang memiliki pengetahuan hukum dan kecakapan melakukan gugatan perdata di pengadilan.
Akhirnya gugatan perdata hanya dilakukan oleh korban kejahatan yang menderita kerugian yang sangat besar dan juga memiliki kemampuan finansial. Sehingga menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah dengan korban kejahatan yang mengalami kerugian yang bisa dikatakan tidak besar atau tidak memiliki kemampuan finasial untuk menyewa advokat guna mewakilinya melakukan gugatan perdata? Sudah dapat dipastikan, korban kejahatan lebih memilih untuk menerima nasib akibat sistem peradilan di negara kita (Indonesia) belum memihak kepadanya.
Sedangkan untuk tuntutan ganti kerugian yang diajukan bersamaan dengan proses perkara pidana di peradilan yang dimuat dalam Pasal 98 s.d Pasal 101 KUHAP mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, namun kenyataan yang ada, hanya sedikit korban kejahatan yang mengajukan tuntutan ganti kerugian pada saat jalannya persidangan.
Hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan dari masyarakat mengenai fasilitas penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dan mungkin juga diakibatkan kurangnya pengetahuan dari JPU dan Hakim yang menangani perkara tersebut.
Sehingga dalam beberapa perkara yang ditangani langsung oleh penulis, dimana pihak korban kejahatan telah diinformasikan oleh penulis untuk mengajukan penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti kerugian kepada Jaksa Penuntut Umum atau Hakim yang menangani perkara tersebut, selalu menemui jalan buntu karena mendapat ‘saran’ untuk menempuh gugatan perdata saat proses pengajuannya.
Penulis menggaris bawahi bahwa dari kedua bentuk gugatan ganti kerugian yang ada, negara tidak melibatkan Polri untuk ikut serta dalam proses pengajuan gugatan ganti kerugian yang berlangsung di Pengadilan, sehingga bisa dikatakan tuntutan ganti kerugian baik melalui gugatan perdata maupun melalui penggabungan perkara gugatan ganti kerugian mutlak sepenuhnya masuk ke dalam ruang lingkup lembaga Kejaksaan dan Kehakiman.
Dengan adanya Quick Wins yang salah satu program utamanya adalah mewujudkan transparansi penyidikan melalui pemberian SP2HP, penulis melihat adanya kesempatan bagi Polri untuk menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan perbuatan hukum dalam rangka pemenuhan hak-haknya terutama masyarakat yang menjadi korban kejahatan dan juga kesempatan bagi Polri untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa Polri siap untuk menjadi sebuah Institusi yang akuntabel, terutama dalam pelaksanaan penyidikan perkara yang dilaporkan oleh korban kejahatan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Andrew Asworth (1993) bahwa masyarakat menginginkan adanya ganti kerugian baik dari tersangka maupun dari negara dikaitkan dengan Program SP2HP yang dilaksanakan Polri, penulis menilai hendaknya Program pemberian SP2HP kepada korban kejahatan yang telah dilakukan oleh Polri didayagunakan sebagai sumber inspirasi bagi korban kejahatan untuk melakukan penggabungan perkara ganti kerugian.
Dalam arti, materi SP2HP selain menginformasikan perkembangan penanganan perkara yang dilakukan oleh Polri, hendaknya SP2HP juga memuat materi mengenai penjelasan mengenai fasilitas penggabungan ganti kerugian yang dimiliki oleh korban kejahatan dengan petunjuk/ cara mengajukan gugatan ganti kerugian tersebut. Untuk mendorong korban kejahatan mengajukan tuntutan ganti kerugian, sebaiknya juga SP2HP memuat mengenai penjabaran metode penuntutan ganti kerugian baik secara perdata maupun dengan cara penggabungan tuntutan pada proses persidangan perkara disertai keuntungan dan kerugian masing-masing cara penuntutan ganti kerugian tersebut.
Dimana pemberian SP2HP yang memuat materi mengenai tuntutan ganti kerugian diberikan pada saat perkara telah selesai dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum.
Selain itu, penulis menilai bahwa pemberian hak korban kejahatan dalam hal hak untuk dapat memberikan saran/ masukan kepada penyidik sebelum dilakukan tindakan yang bersifat meringankan tersangka agar tidak terjadi kesalahan persepsi tindakan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri, hal ini dimaksud untuk mengurangi persepsi masyarakat terhadap penyidik Polri seakan-akan telah ‘berkolusi’ dengan pelaku kejahatan karena memberikan keringanan dalam proses penyidikan, misalnya saja penangguhan penahanan atau penghentian penyidikan.
Bila tindakan pemberitahuan kepada korban kejahatan yang disertai permohonan saran/ pendapat dari korban kejahatan apabila penyidik berencana untuk melakukan penangguhan penahanan tentunya akan mengurangi resiko adanya kolusi antara penyidik dan pelaku kejahatan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Polri mengenai penaganan perkara kejahatan yang dialaminya.
Khusus untuk perkara yang akan dihentikan penyidikannya, hendaknya penyidik Polri terlebih dahulu menginformasikan kepada korban kejahatan melalui SP2HP mengenai alasan penghentian penyidikan dan meminta saran/ pendapat kepada korban kejahatan mengenai kendala penyidikan yang dialami oleh penyidik Polri dalam penanganannya. Dan bila penghentian penyidikan dilakukan hendaknya materi SP2HP yang diberikan kepada korban kejahatan memuat analisa yuridis mengenai
Diharapkan dengan dimuatnya berbagai materi SP2HP yang terkait dengan:
a. Apakah laporan/ aduan masyarakat dapat dittingkatkan ke tahap penyidikan atau tidak,
b. Pemberitahuan perkembangan penyidikan,
c. Permohonan saran/ pendapat dari korban kejahatan bila penyidik Polri hendak melakukan penangguhan penahanan terhadap pelaku kejahatan atau menghentikan perkara penyidikan,
d. Menjelaskan secara rinci alasan pengentian penyidikan dalam bentuk analisa yuridis sehingga mudah dipahami oleh korban kejahatan, dan
e. Pemberitahuan hak korban kejahatan untuk dapat mengajukan gugatan ganti kerugian baik melalui gugatan perdata maupun disertai dengan pertimbangan keuntungan dan kerugian masing-masing proses pengajuan ganti kerugian.
maka korban kejahatan akan memiliki persepsi yang berbeda mengenai penyidikan yang dilakukan oleh Polri yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri dan tentunya diharapkan terjadi pergeseran orientasi mengenai Problem Solver, dimana masyarakat akan cenderung untuk memprioritaskan penanganan perkara yang dilakukannya kepada Polri karena menilai bahwa sistem hukum yang ada telah berubah dan memihak kepada korban kejahatan. dengan adannya pergeseran prioritas tersebut, tentu saja mimpi Polri untuk menjadi Problem Solver yang utama bagi permasalahan yang ada di masyarakat akan segera terwujud.
Sekian dan terima kasih.
Jakarta, 26 Agustus 2009
TTD
AKP WAHYU I. BRAM W., SH, S.iK
[1] McDonald menemukan bukti bahwa seluruh negara di dunia ini telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk `mengurus` pelaku kejahatan dalam bentuk pembiayaan kebutuhan tersangka selama berurusan dengan CJS, seperti biaya pembangunan rumah tahanan, biaya makan tersangka, biaya aparat penegak hukum yang memproses perkara yang telah dilakukan oleh pelaku, biaya pembuatan UU yang bersifat menghormati tersangka, dll. Namun, sangat sedikit negara-negara di dunia ini yang telah mengeluarkan biaya untuk `mengurus` korban kejahatan, dan bila ada negara yang mengeluarkan biaya untuk `mengurus` korban kejahatan, jumlahnya sangat tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk `mengurus` tersangka/ pelaku kejahatan. Sehingga McDonald menyimpulkan bahwa korban kejahatan telah diabaikan oleh Criminal Justice System.
One response to “ ”
Selamat malam,
Boleh tanya pak
Apakah pak Bram ini alumni akpol yang dulu pernah tugas sebentar di Lumajang, Jawa Timur, ketika masih mahasiswa akpol?
Terimakasih
Posting Komentar